Saturday, September 21, 2019

LETNAN JENDERAL TNI ANUMERTA MAS TIRTODARMO HARYONO



Nama Lengkap            : Mas Tirtodarmo Haryono
Alias                            : Tirtodarmo Haryono | M.T. Haryono
Tempat Lahir              : Surabaya
Tanggal Lahir             : Minggu, 20 Januari 1924
Agama                         : Islam
Warga Negara             : Indonesia
Meninggal                   : Jakarta, 1 Oktober 1965
Dimakamkan               : Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta

Pekerjaan                    : TNI AD


Masa Dinas                 : 1945 - 1965


Penghargaan sipil        : Pahlawan Revolusi




Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono merupakan salah satu Pahlawan Revolusi yang gugur dalam tragedi di G30S/PKI. Beliau meninggal pada umur 41 tahun dan dimakamkan di Taman Pemakaman Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Sikap teladan yang bisa kita ambil dari Tirtodarmo  Haryono adalah patriotisme yaitu sikap siap dan sedia berkorban segala – galanya demi kejayaan serta kemakmuran Negara atau tanah air yang ia cintai, keberanian, mementingkan kepentingan bersama, pantang menyerah, menjunjung tinggi persatuan, nasionalisme tinggi, dan berjiwa besar.
         
Ø  APRESIASI PEMERINTAH KEPADA LETNAN JENDERAL TNI ANUMERTA MAS TIRTODARMO HARYONO
h

PERANGKO MAS TIRTODARMO HARJONO KELUARAN TAHUN 1966


Ø  SUDUT PANDANG DARI LETNAN JENDERAL TNI ANUMERTA MAS TIRTODARMO HARYONO
Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono atau biasa dikenal sebagai MT Haryono adalah salah satu dari tujuh pahlawan revolusi Indonesia yang meninggal pada tragedi lubang buaya. Pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, MT Haryono sempat memperoleh pendidikan di berbagai tempat.
Yang pertama adalah di ELS, pendidikan setingkat sekolah dasar bentukan Belanda. MT Haryono juga sempat melanjutkan sekolah di HBS, pendidikan setingkar sekolah umum. Kemudian beralih ke masa pendudukan Jepang, MT Haryono sempat disekolahkan ke Ika Dai Gakko, sebuah sekolah kedokteran pada masa pendudukan Jepang, tetapi tidak sampai seesai.
Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono adalah seseorang yang sangat menjadi panutan untuk generasi selanjutnya dengan sikap keberanian dan pantang menyerahnya. Dalam kehidupannya sehari – hari beliau juga hidup sederhana walaupun ia orang yang berada. Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono juga dikenal sebagai pemimpin yang keras kepala dan penyabar. Walaupun ia keras kepala, tetapi ia tetap tegas dalam memimpin. Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono patut di contoh dan diteladani dalam kehidupan sehari – hari sebagai pemuda Indonesia.











SANG JURU SELAMAT JENDERAL AHMAD YANI


 PERJUANGAN TOKOH PAHLAWAN REVOLUSI
     Ketika Indonesia dijajah Jepang yakni pada tahun 1942, Ahmad Yani mendaftar untuk mengikuti pendidikan Heiho di Magelang, Jawa Tengah. Beliau lalu bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) daerah cabang Bogor. Semasa perang kemerdekaan, Ahmad Yani juga banyak ikut andil. Jasa-jasanya adalah seperti beliau berhasil menyita senjata Jepang yang berada di Magelang. Ketika TKR lahir, beliau dijadikan Komandann TKR untuk wilayah Purworejo. Pada saat Belanda melancarkan Agresi Militernya ke indonesia yang pertama, Ahmad Yani bersama pasukan berhasil membendung serangan Belanda di daerah Pingit. Ketika Agresi yang ke dua, beliau juga diorbitkan dengan diangkat menjadi Komandan Wehrkreise II untuk menjaga daerah Kedu. Ketika pemberontakan DI/TII meletus, Ahmad Yani ditugasi untuk mengatasi pemberontakan itu di daerah Jawa Tengah. Bersama pasukan Benteng Raiders, akhirnya DI/TII berhasil dikalahkan. Setelah tugas itu selesai, beliau kembali ke Staf Angkatan Darat. Untuk lebih memperdalam ilmunya di bidang militer, pada 1955 Ahmad Yani diberangkatkan ke Amerika guna menempuh pendidikan di Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Setahun kemudian beliau melanjutkann sekolah militer selama dua bulan di Inggris mengambil Spesial Warfre Course. Ketika terjadi pemberontakan PRRI di Sumatra Barat pada tahun 1958, Ahmad Yani yang saat itu berpangkat Kolonel didaulat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus yang kemudian memimpin penumpasan pemberontakan tersebut. Karena jasa dan prestasi beliau, pada tahun 1962, Ahmad Yani diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat. 

Menjadi Target G30S/PKI 

     Dalam pandangan politik, Ahmad Yani tidak setuju dan selalu berseberangan dengan PKI. Ketika PKI berusaha untuk membentuk angkatan ke 5 yang terdiri dari buruh tani yang dipersenjatai, Ahmad Yani langsung menolaknya. Inilah yang menjadi alasan hingga beliau dimasukkan dalam target penculikan dan pembunuhan oleh PKI tahun 1965. Bersama dengan ke tujuh perwira Angkatan Darat lainnya, beliau diculik dan dibunuh lalu mayatnya dimasukkan kedalam sumur tua di daerah Lubang Buaya melalui operasi pemberontakan G30 S/PKI. Kronologinya, ketika dinihari tanggal 1 Oktober,       Ahmad Yani ditembak di depan kamar tidurnya. Setelah dilakukan pencarian pada keesokan harinya, Jenazah Ahmad Yani kemudian dimakamkan secara hormat di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Beliau bersama ketujuh perwira yang menjadi korban keganasan PKI kemudian dinamai sebagai Pahlawan Revolusi dan pangkatnya dinaikkan secara Anumerta yang awalya Letnan menjadi Jendral. 

SIKAP TELADAN TOKOH PAHLAWAN REVOLUSI : 

 Keberanian Jenderal Ahmad Yani menjadi seorang pejuang  
 Keinginan kuat untuk bersekolah 
 Semangatnya yang tinggi membela Negara 
 Cinta tanah air  Rela berkorban 

APRESIASI PEMERINAH UNTUK JENDERAL AHMAD YANI : Jenderal Ahmad Yani dinyatakan Pahlawan dari Revolusi dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965



SUDUT PANDANG KELOMPOK

  Jenderal Ahmad Yani adalah seseorang yang sangat menjadi panutan untuk generasi selanjutnya dengan sikap pantang menyerah dan bertanggungjawabnya, Jenderal Ahmad Yani pun sangat dikenal sebagai Pahlawan Revolusi dengan keberaniannya melawan musuh. Beliau punya semangat tinggi dalam mengejar prestasi dan pendidikan.   
  

Pangeran dalam Republik


Nama        : Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Nama kecil  : Gusti Raden Mas Dorojatun
TTL          : Ngayogyakarta Hadiningrat, 12 April 1912
Ayah         : Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
Ibu            : Raden Ajeng Kustilah (Kanjeng Ratu Alit)
Agama      : Islam
Wafat        : Washington DC, 2 Oktober 1988







Nama Sri Sultan Hamengkubuwono tentu saja tak terasa asing di telinga. Aura kebangsawaan mengalir kuat dalam gelar bagi Raja-Raja Kasultnan Yogyakarta ini. Namun, nama Sri Sultan Hamengkubuwono ke-9 agaknya berbeda dari yang lainnya. Beliau, dengan segala kepiawaiannya, rela ikut serta dalam membangun pondasi bangsa. Beliau adalah sosok Pangeran dalam Republik.
Gusti Raden Mas Dorojatun, demikian nama yang disandang beliau ketika kecil. Dilahirkan pada tanggal 12 April 1912, beliau adalah anak kesembilan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau Kanjeng Ratu Alit.
Pada 18 Maret 1940, beliau dinobatkan sebagai putra mahkota. Di hari pelantikan tersebut beliau berpidato dan mengeluarkan kalimat yang dikenang oleh semua orang hingga saat ini, “Saya memang berpendidikan barat, tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa”.
Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX segera mengambil sikap dengan mengirim telegram ucapan selamat kepada para proklamator. Dua minggu setelahnya, tepatnya tanggal 5 September 1945, beliau bersama Paku Alam VIII, mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia.
Peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX terhadap bangsa juga ditunjukkan melalui dukungan finansial. Selama pemerintahan republik berada di Yogyakarta, segala urusan pendanaan diambil dari kas keraton.  Sri Sultan Hamengkubuwono IX sendiri tidak pernah mengingat-ingat berapa jumlah yang sudah dikeluarkan. Bagi beliau hal ini sudah merupakan bagian dari perjuangan. Bahkan beliau memberi amanat kepada penerusnya untuk tidak menghitung-hitung apalagi meminta kembali harta keraton yang diberikan untuk republik tersebut.
Sejarah mencatat bahwa perjuangan Indonesia menuju bentuknya saat ini  mengalami fase pasang surut. Di ujung berakhirnya era Orde Lama, ketika Soeharto mengambil alih kendali pemerintahan, kepercayaan negara-negara dunia kepada Indonesia sedang berada di titik terendah. Di saat seperti ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun menyingsingkan lengan bajunya, keliling dunia untuk meyakinkan para pemimpin negara-negara tetangga bahwa Indonesia masih ada, dan beliau tetap bagian dari negara itu. Dengan demikian kepercayaan internasional pelan-pelan dapat dipulihkan kembali. 
Seiring perjalanan Republik Indonesia sebagai negara, Sri Sultan Hamengkubuwono IX telah mengabdikan diri dalam berbagai posisi. Selain menjadi pejuang pejuang kemerdekaan, Sri Sultan Hamengkubuwono IX tercatat sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir hingga Kabinet Hatta I (1946 – 1949). Di masa kabinet Hatta II hingga masa RIS (1949 - 1950) beliau menjabat Menteri Pertahanan. Dan menjadi Wakil Perdana Menteri di era Kabinet Natsir (1950  -1951).  Beliau masih terus menjabat berbagai jabatan di tiap periode hingga pada tahun 1973 menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang kedua. Jabatan tersebut diemban sampai pada tanggal 23 Maret 1978, ketika beliau menyatakan mengundurkan diri. 
Tepat tanggal 2 Oktober 1988 malam, ketika beliau berkunjung ke Amerika, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menghembuskan nafas terakhirnya di George Washington University Medical Center. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja di Imogiri, sdiiringi oleh lautan massa yang ikut berduka. Pada saat itu, pohon beringin Kyai Wijayandaru di Alun-alun Utara, mendadak roboh, seakan pertanda duka yang mendalam.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan sosok pemimpin yang kharismatik. Beliau adalah sosok yang tenang, rendah hati, dan bebas dari ego duniawi. Sikapnya dalam memimpin rakyat serta ikut andil dalam membangun Indonesia menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang adil, rela berkorban, dan totalitas dalam menjalankan tugasnya. Teladan dan semangat nasionalis, cinta demokrasi, menghargai budaya, dan keberpihakan terhadap masyarakat kecil adalah contoh yang mesti dihidupi oleh generasi muda dewasa ini.
Dengan banyaknya sumbangsih yang beliau berikan bagi bangsa dan negara, sosok Sri Sultan Hamengkubuwono IX dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Megwati Soekarnopoetri di tahun 1990. Beliau juga ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia berkat perannya dalam Gerakan Pramuka Indonesia.
Berbagai cara dilakukan untuk mengingatnya. Diantaranya sosoknya  diabadikan dalam uang pecahan Rp. 10.000 emisi 1992. Sayangnya, uang ini sudah berhenti dicetak pada tahun 1998. Beliau pun dibuatkan patung di Bangsal Kesatriyan Keraton Yogyakarta. Selain itu, namanya juga diabadikan menjadi nama jalan di berbagai daerah di Nusantara, diantaranya di Jakarta Utara, dan Tulangbawang barat, Lampung



Tanggapan Kami
Sri Sultan Hamengkubuwono IX merupakan sosok pemimpin yang dapat diteladani bagi kita. Sikapnya dalam memimpin rakyat serta ikut andil dalam membangun Indonesia menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang adil, rela berkorban, dan totalitas dalam menjalankan tugasnya. Ia memiliki sikap semangat nasionalis, cinta demokrasi, menghargai budaya, dan keberpihakan terhadap masyarakat kecil adalah contoh yang mesti dihidupi oleh generasi muda, para pemimpin  di masa depan.
Perjuangan Sultan HB IX juga mendapat apresiasi yang sangat tinggi dari pemerintah. Memang sepantasnya begitu, mengingat banyaknya sumbangsih yang beliau berikan bagi bangsa.


Artikel ini disusun oleh :


Kelompok 4
Yohanes Canon, Ilyasa Adam, Akbar Riza, Rania Khayru H,

Bara Di Balik Jeruji Belanda





Opu Daeng Risaju



Nama : Famajjah
Lahir  : Palopor, 1880
                                                        Wafat : 10 Februari 1964                                                           
Ayah   : Muhammad Abdullah to Barengseng
Ibu       : Opu Daeng Mawellu
Suami : Haji Muhammad Daud
Wafat : 10 Februari 1964


       Opu Daeng Risadju merupakan pejuang wanita asal Sulawesi Selatan yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Opu Daeng Risaju itu sendiri merupakan gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang disematkan pada Famajjah yang merupakan anggota keluarga bangsawan Luwu.
Beliau merupakan sosok yang pantang menyerah, karena tujuan          Opu Daeng Risaju hanya satu, ia ingin membebaskan tanah dan rakyat di tempat tinggalnya dari kekuasaan Belanda. Ia menyebarkan semangat merdeka itu ke seluruh lapisan masyarakat di Malangke dan Palopo.
Usahanya ini sukses mendapat banyak simpati dari masyarakat. Sayangnya tidak dengan orang-orang di dalam kerajaan. Saudara-saudaranya dikerajaan menuduh bahwa dirinya menghasut masyarakat untuk membenci pemerintahan.

Dengan tidak memikirkan tentang gelar kebangsawanannya, menurutnya gerakan menyebarkan syarekat islam lebih penting dari gelar  kebangsawanannya. Opu Daeng Risaju pernah berkata “Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya,” Opu Daeng Risaju berapi-api menjawab Datu Luwu Andi Kambo yang mencoba membujuk Opu Daeng Risaju untuk meninggalkan partainya.
Setelah Opu Daeng Risaju terbebas dari penjara. Ia kembali aktif di PSII dan masih berkobar api semangatnya itu untuk melawan para penjajah. NICA datang ke Sulawesi, ia pun mencium ancaman berbahaya. Iapun langsung menggerakkan para pemuda di tanah tempat tinggalnya untuk bersiap melakukan perlawanan terhadap tentara NICA. Perempuan berdarah bangsawan dari Kerajaan Luwu ini berada di barisan depan, melawan para penjajah yang kembali.
Ia selalu ikut berjuang sebagai rakyat untuk melawan kolenial belanda yang ingin menguasai indonesia, namun dia tertangkap oleh NICA ditempat persembunyiaannya dann sampai akhir hayat nyaa iaa selalu menimpa musibah.
Opu daeng risadju bisa menjadi inspirasi kita, walau sudahh banyak konflik yang menimpanyaa dan walau umurnya sudahh tidakmuda lagi ia tetap membela indonesia dan memperjuangkan agamanyaa.
Opu Daeng Risadju merupakan Pejuang wanita yang mempunyai jiwa kepahlawanan serta tidak mudah menyerah dan berani dalam memperjuangkan bangsa indonesia, memiliki sikap rendah hati dan selalu berpegang teguh terhadap tata cara kehidupan bangsawan baik dalam istana maupun diluar istana.



Pada tanggal 3 November 2006  ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dan diberikan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana oleh pemerintah.


~ Terimakasih Telah Membaca ~
Dibuat oleh:





Berdasarkan foto diatas : Dipika Syaiban Ainun, Amelia Putri , Sabrina Putrinda Jalasena ,Evan Raja Parman






SOSOK PEMBAWA BUMI CENDRAWASIH KEMBALI KE PELUKAN PERTIWI

SOSOK PEMBAWA BUMI CENDRAWASIH KEMBALI KE PELUKAN PERTIWI 
(Tentang-Nya yang tidak ingin disanjung)



Nama : Silas Ayari Donari Papare
Lahir : Serui, Papua, 18 Desember 1918
Meninggal : Serui, Papua, 7 Maret 1973
Agama : Kristen Protestan
Istri : Ny. Regina Aibui
Anak : 9 Orang
Pendidikan : - Volschool
 - Sekolah Juru Rawat
Organisasi : - Komite Indonesia Merdeka (KIM)
 - Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKKI)
 - Badan Perjuangan Irian
 - Kompi Irian 17 -
Biro Irian Jabatan : - Pendiri PKII
 - Pendiri Badan Perjuangan Irian
 - Delegasi Indonesia dalam perjanjian New York
 - Pembentuk KIM



A. Pendahuluan
   Setelah lulus sekolah ia sempat bekerja di rumah sakit Serui selama 3 tahun. Kemudian ia pindah kerja di Sorong sebagai pegawai perusahaan minyak di sana sampai awal tahun 1942 saat Jepang menduduki Indonesia. Papare kembali ke Serui untuk menjadi petani. Pada tahun 1944 Silas pernah direkrut oleh Amerika sebagai mata-mata untuk membantu Amerika mengusir Jepang dari Irian (sebelum Papua). Selepas Jepang kalah pada perang dunia kedua, Papua kembali dikuasai oleh Belanda. Papare memang tak menyukai pemerintah Belanda yang menjajah Irian pada masa itu. Itulah sebabnya ia memutuskan untuk kembali menjadi petani di Serui. 
  Desember 1945, Silas bersama teman-temannya berusaha mempengaruhi pemudapemuda Irian Barat yang tergabung dalam Batalyon Papua untuk melancarkan pemberontakan. Rencana tersebut gagal dan mengakibatkan Silas dipenjara di Jayapura. Saat menjalani masa penjara ini ia bertemu dengan Dr. Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi masa itu yang diasingkan oleh pemerintah Belanda di penjara tersebut. Dari pertemuan inilah Silas bertekad untuk memerdekaan Papua dan bergabung dengan Republik. Langkah awal Silas untuk mewujudkan niatnya tersebut adalah dengan mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) pada November 1946. Peran penting Silas dan kawan-kawan di dalam partai yakni untuk menumbuhkan dan membesarkan benih nasionalisme dalam wilayah NKRI PKII bergerak secara bawah tanah. Melalui gerakan bawah tanah inilah jumlah anggota PKII semakin lama semakin bertambah.PKII ini terendus oleh pihak Belanda, akhirnya ia dipenjara di Biak, namun tak lama ia melarikan diri dari penjara tersebut. Oktober 1949 di Yogyakarta, Papare mendirikan Badan Perjuangan Irian dalam rangka membantu pemerintah Republik Indonesia untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah NKRI. 
         Selang 3 tahun kemudian, pada 1951 Silas Papare membentuk Kompi Irian 17 di Markas Besar Angkatan Darat. Pendirian Kompi tersebut untuk membantu politik Indonesia dalam memperjuangkan Irian sebagai bagian dari Republik di kancah Internasional. Tercatat seperti Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) dan Biro Irian yang didirikan Soekarno. 15 Agustus 1962 Papare juga ikut serta sebagai salah satu delegasi Indonesia dalam New York Agreement tentang Irian Barat. Atas jasa Silas Papare inilah Irian Barat pada 1 Mei 1963 akhirnya secara resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia.


B. Apresiasi Pemerintah 
     Nama Silas Papare pun diabadikan dalam sebuah nama kapal yaitu KRI SILAS PAPARE 386. Selain diabadikan dalam sebuah nama kapal, didirikan juga Monumen Silas Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui. Sementara di Jayapura, namanya diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas Papare, yang berada di Jalan Diponegoro. Sedangkan di kota Nabire, nama Silas Papare dikenang dalam wujud nama jalan.







c. Sudut Pandang Kelompok 

      "Jangan sanjung aku, tapi teruskan lah perjuangan ku" begitulah tutur dari seorang Silas Papare, seorang yang berlatar belakang sekolah perawat, demi bangsanya ia rela berkorban untuk mempersatukan Bumi Cendrawasih yang saat itu ingin memerdekakan diri sendiri dan berdiri sendiri, meski nama Silas Papare tak sebesar nama Jenderal Soedirman, perjuangannya dalam membela bangsanya tak boleh diragukan. Selain menjadi perawat, Silas Papare pun dipercaya Belanda sebagai tenaga intelijen, meski tak didukung dengan pendidikan militer secara khusus, tetapi Silas Papare memiliki penguasaan medan yang cukup bagus. 
      Dalam hal memberikan pelayanan, Silas juga berhasil mengeluarkan rakyat Indonesia dari hutan semasa pendudukan Jepang, yakni dari Serui, Biak, dan Manokwari. Nama nya jarang sekali dikenal di era ini, apalagi generasi z sangat minim kemungkinan nya, padahal perannya teramat penting untuk Indonesia dimana ia menyatukan papua dalam pelukan pertiwi maka dari itu diharapkan para pembaca dapat menilik kembali perjuangan beliau di era ini, karena di era ini mulai kembali isu isu yang beredar bahwa Papua ingin memisahkan diri dari Indonesia, Silas merupakan penduduk asli Papua lalu untuk apa dia menyatukan Indonesia ke pertiwi kalau bukan karena kecintaannya terhadap pertiwi lalu untuk apa lagi? Maka dari itu ingatlah kembali dan teruskan lah apa yang telah dilakukan oleh mereka yang bersusah payah mempersatukan pertiwi


Penulis: 
- Fascal Oceansyah
 - Waranda Nur Azizah 
- Joanna Beatrix Intan Augustine Sihombing 
- Ghina Rafifah 
Sumber: 
https://merahputih.com/post/amp/kisah-silas-papare-pejuang-asal-papua-yangdisegani-jepang-dan-belanda 
https://pahlawancenter.com/silas-papare/ https://id.m.wikipedia.org/wiki/Silas_Papare

Thursday, September 19, 2019

PEJUANG DARI TANAH PAPUA


PEJUANG DARI TANAH PAPUA


Perkenalkan lah kami Reyhan Zamzami , Afrilia  , Fadillah Aisyah Tamara , M. Surya Prayoga
     Hallo ! kami dari SMAN 2 GUNUNGPUTRI kelas 12 MIPA 2 kelompok 3 mendapat tugas untuk membuat artikel ini , dalam artikel ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang kami miliki dan kami sudah bekerja sama dalam mensukseskan artikel ini, artikel ini bertemakan cinta sejarah maka dari itu kelompok kami mendapatkan untuk menjalaskan dan membuat artikel mengenai MARTHEN INDEY salah satu dari kami pun tidak mengetahui siapa beliau dan siapa dia. Setelah kami cari dari berbagai sumber ternyata dia pahlawan yang telah membantu irian jaya dapat bergabung kembali ke indonesia dan hal itu menarik untuk kita bahas dalam artikel ini . 



Nama             : MARTHEN INDEY
TTL                :  Doromena , 16 Maret 1912
Zodiac            :  Pisces
Agama            : Kristen Protestan
Nama istri       : Agustina Heumassey
Pendidikan      :  -     Sekolah Rakyat 5 tahun             
-          Sekolah Polisi di Sukabumi
-          Sekolah Marinir di Makasar & Surabaya
-          Latihan Militer Pard di Bris-bane Cans Australia
Tanggal wafat   : 17 Juli 1986





      Akhir-akhir ini kita menyaksikan di televisi tawuran antarkampung, antarsekolah, bahkan antarperguruan tinggi. Kita juga seringkali menyaksikan konflik antarpenganut agama dan intrapenganut agama, serta antarsuku/antaretnis. Tawuran dan konflik tersebut berakhir dengan hilangnya sejumlah nyawa manusia. Maraknya tawuran dan konflik di bumi pertiwi Indonesia merupakan bukti pengingkaran terhadap nilai-nilai kepahlawanan yang didasarkan atas rasa kebersamaan antar semua etnis bangsa dan ketulusikhlasan untuk menerima perbedaan serta penghormatan terhadap hak-hak antar sesama dalam kehidupan berbangsa yang majemuk. Pengingkaran generasi muda terhadap nilai-nilai kepahlawanan tersebut merupakan bukti kegagalan lembaga sosial dalam menanamkan nilai-nilai kepahlawanan. Nilai kepahlawanan adalah suatu sikap dan perilaku perjuangan yang mempunyai mutu dan jasa pengabdian serta pengorbanan terhadap bangsa dan Negara.
     Dunia pendidikan dianggap gagal menunaikan tugasnya dalam penanaman nilai-nilai moral kebangsaan. Sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah selama ini dinilai hanya dalam batasan memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas kognitif belaka. Akibatnya, nilai-nilai moral kebangsaan mengalami degradasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Berkurangnya pengetahuan dan pemahaman generasi muda akan nilai-nilai kepahlawanan saat ini sungguh mengkhawatirkan. Para generasi muda lebih mengidolakan tokoh imajiner yang sering tampil di layar televisi dan sejenisnya. Para generasi muda di Indonesia umumnya dan khususnya di Papua kurang mengenal tokoh-tokoh pahlawan dan pejuang nasional. Padahal bangsa ini memiliki sejarah kepahlawanan yang gemilang, sebut saja pahlawan nasional asal Papua, Marthen Indey.
     Marthen Indey, namanya dikenal sebagai seorang pahlawan nasional asal Papua. Kisah kepahlawanannya dalam memperjuangkan kesatuan Negara Republik Indonesia dapat menjadi inspirasi dalam menyambut Hari Pahlawan Nasional 10 November. Nilai-nilai perjuangan dan kepahlawanan Marthen Indey dalam mengintegrasikan Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), setidaknya ditanamkan dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pendidikan karakter di sekolah. Penulis buku Marthen Indey Pahlawan Nasional Asal Papua, Handono Kusumo mengatakan yang perlu dicontoh adalah semangat patriotisme dan nasionalismenya yang tinggi, yang ditandai dengan semangat perjuangannya yang rela keluar masuk penjara dan rela mengorbankan harta, jiwa dan raganya untuk membebaskan tanah Papua dari belenggu penjajahan pemerintah kolonial Belanda.  Para generasi muda harus memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme untuk menumbuhkembangkan kebanggaan berbangsa dan bernegara Indonesia serta bela tanah air.

PERJUANGAN MARTHEN INDEY


     Perjumpaan Marthen Indey dengan para tahanan politik di Boven Digul telah mempengaruhi sikap dan tindakannya dalam perjuangannya mengintegrasikan Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penugasan Marthen Indey sebagai wakil komandan polisi jaga ke Boven Digul telah berpengaruh besar dalam perjuangannya dalam membebaskan tanah Papua dari belenggu penjajahan kolonial Belanda.
     Pada awal tahun 1941, Belanda mengambil keputusan untuk menarik semua tentaranya dari Boven Digul untuk persiapan menghadapi tentara Jepang dan mengalihkan penjagaan para tahanan politik kepada polisi lapangan (veldpolitie). Oleh karena itu, Pada Februari 1941 Marthen Indey ditugaskan sebagai wakil komandan polisi jaga ke Boven Digul. Sebagai wakil komandan polisi jaga (tweede posthuiscommandant), Marthen Indey mengepalai 31 orang polisi jaga. Dia bersama pasukannya berkewajiban untuk melakukan penjagaan di Kamp Tahanan Politik Boven Digul. Sebagai wakil komandan polisi jaga, Marthen Indey bebas keluar masuk kamp tahanan untuk memeriksa keadaan dan perilaku para tahanan yang dicap “komunis”. Ketika Marthen Indey menunaikan tugasnya sebagai wakil komandan polisi jaga, dia sering duduk bercerita dengan para tahanan politik itu. Komunikasi yang intens antara Marthen Indey dengan para tahanan politik tersebut, menyebabkan ia mulai tertarik dengan cara berpikir dan pengalaman para pejuang yang dibuang ke Boven Digul itu.
     Pertemuan Marthen Indey dengan para tahanan politik di Digul telah mengubah sikapnya terhadap pemerintah kolonial. Ia mulai tidak setuju dengan perlakuan keras dari pemerintah kolonial terhadap para tahanan politik itu. Perubahan sikapnya tidak terlepas dari pengaruh pertemanannnya dengan beberapa orang dari tahanan politik itu. Beberapa orang tahanan politik di Digul yang menarik simpati Marthen Indey saat itu adalah Sukoharjo, mantan Angkatan Laut dari Bandung, Sugoro Atmoprasodjo, mantan guru Taman Siswa Jogjakarta, dan Hamid Siregar, seorang yang berasal dari Tapanuli bergelar Panggoncang Alam. Hamid Siregar terlibat dalam pergerakan kemerdekaan di Hollandia (sekarang Jayapura) dan pernah dipenjarakan bersama Marthen Indey dan pejuang-pejuang Papua lainnya. Marthen Indey menunjukkan rasa simpatinya terhadap perjuangan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Keberanian bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya mengakibatkan para pejuang kemerdekaan Indonesia yang dipenjarakan oleh pemerintah kolonial. Perlakuan pemerintah kolonial yang demikian tidak dapat diterima oleh Marthen Indey.
     Marthen Indey mengadakan rapat gelap dengan 31 orang agen polisi bawahannya untuk menangkap orang-orang Belanda. Adapun orang-orang Belanda yang menjadi sasaran Marthen Indey adalah Inspektur Polisi yang merupakan atasannya, Kontrolir Wegner, dan seorang pastor berkebangsaan Belanda. Dalam pemikiran Marthen Indey, pasukan pendudukan Jepang yang telah merebut kota Fak-Fak pada 1 April 1942, terus bergerak ke selatan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menangkap orang-orang Belanda itu dan membebaskan para pejuang kemerdekaan Indonesia.
     Rencana Marthen Indey untuk menangkap orang-orang Belanda dan membebaskan para pejuang kemerdekaan Indonesia di Digul tidak dapat direalisasikan. Sebab, rencana pemberontakannya dibocorkan oleh salah seorang polisi yang merupakan anak buahnya sendiri. Akhirnya, agar tidak menimbulkan kejutan terhadap para tahanan, pada suatu hari, ke 32 polisi Indonesia yang bertugas di Digul ditugaskan membangun bivak-bivak baru dengan membuka hutan di daerah Pesnamman, lebih ke hulu Sungai Digul. Daerah itu merupakan tempat Suku Jair dan Mandobo membunuh musuh-musuhnya yang tertangkap. Marthen Indey mengira penugasannya itu hanya sementara saja. Namun, ketika keluarganya (isteri dan anak angkatnya) juga diberangkatkan ke daerah itu, Marthen Indey menyadari bahwa ia bersama keluarganya telah dibuang secara halus. Setelah Marthen Indey bersama teman-teman polisinya menjalani hukuman selama 8 bulan di Pesnamman, mereka diijinkan kembali ke Tanah Merah.

Pada 1943 Pemerintah kolonial Belanda menutup kamp konsentrasi di Digul. Penutupan kamp konsentrasi itu berhubungan dengan kehadiran tentara pendudukan Jepang di wilayah Papua bagian barat pada Perang Pasifik. Belanda khawatir tentang kemungkinan para tahanan politik di Digul dibebaskan oleh tentara Jepang. Oleh sebab itu, Belanda memutuskan untuk menutup penjara tersebut dan mengungsikan semua tahanan ke Australia. Namun, setelah wilayah Papua dibebaskan oleh tentara Sekutu dari pendudukan tentara Jepang pada akhir Juli 1944, penjara itu digunakan kembali oleh Belanda untuk memenjarakan siapa saja yang dianggap menentang pemerintah kolonial Belanda.
     Setelah wilayah Papua dibebaskan tentara Sekutu, Netherlands Indies Civil Administrations (NICA) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda kembali ke Papua dengan membawa para pejuang eks Digulis. Pada dasarnya para pejuang eks Digulis itu, termasuk Sugoro dibawa kembali ke Papua hendak diperalat Belanda dalam menegakkan kembali kekuasaannya di Papua. NICA menugaskan Sugoro sebagai Penasihat Direktur Pendidikan dan Agama dan memimpin Sekolah Bestuur (Pamong Praja) di Kota NICA (sekarang Kampung Harapan, Sentani). Di Sekolah Pamong Praja itulah Sugoro menjalankan tugas utamanya dan di luar jam kerjanya ia menanamkan kesadaran politik sebagai bangsa Indonesia dan patriotisme kepada peserta didiknya, sehingga Kota NICA menjadi tempat persemaian nasionalisme Indonesia bagi putra-putra Papua. Meskipun, ketika itu Marthen Indey bertugas sebagai kepala distrik di luar kota Hollandia (Arso, Yamasy, dan Waris), ia tetap melakukan kontak dengan sahabat-sahabatnya di Kota Nica, khususnya dengan Sugoro yang telah dikenalnya sejak penugasannya di Digul. Corinus Krey yang bekerja di Kota Nica sebagai kepala poliklinik dan pengajar di sekolah mantri, juga ditugaskan mengajar ilmu kesehatan di sekolah Pamong Praja itu. Setiap malam, setelah pukul 24.00, Sugoro bersama Corinus Krey memantau siaran RRI Jogjakarta dan pemancar Komite Indonesia Merdeka di Australia. Komite orang-orang Indonesia di pengasingan itu juga menerbitkan surat kabar Penyuluh. Sugoro mengedarkan surat kabar Penyuluh itu secara diam-diam kepada peserta didik pamong praja, guru dan pendukung-pendukung kemerdekaan Indonesia di Kota Nica dan sekitarnya. Meskipun para pejuang eks Digulis lainnya seperti Hamid Siregar, Aron Pandjaitan, dan Jusuf Nasution tidak mendapat tugas mengajar di sekolah bestuur, mereka terlibat dalam organisasi bawah tanah yang dipelopori Sugoro Atmoprasodjo bersama putera-putera Papua seperti: Marthen Indey, Silas Papare, Lukas Rumkorem, dan Corinus Krey.
     Pada akhir 1945, organisasi bawah tanah asuhan Sugoro menyusun suatu rencana pemberontakan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia di Irian Barat (sekarang Papua). Pemberontakan itu direncanakan dimulai pada 25 Desember 1945. Akan tetapi, rencana itu diketahui oleh Belanda dari orang-orang Indonesia yang pro-Belanda, sehingga Belanda melakukan penangkapan terhadap 250 orang, termasuk Sugoro pada tengah malam 15 Desember 1945. Meskipun Marthen Indey tidak ditangkap pada operasi tengah malam itu, bukan berarti Marthen Indey tidak berperan dalam rencana pemberontakan itu. Pada saat operasi itu, Marthen Indey sedang berada di tempat tugasnya sebagai kepala distrik di Arso. Marthen Indey sebagai salah satu pelatih anggota Batalyon Papua yang dibentuk akhir tahun 1944, tentunya mempunyai pengaruh di kalangan anggota Batalyon tersebut. Hal ini memungkinkan dia untuk merekrut para anggota Batalyon Papua untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.
     Dalam rangka mewujudkan kemerdekaan di tanah Papua, putra-putra Papua membentuk organisasi kemerdekaan di berbagai daerah di Papua. Di Jayapura yang didirikan sebuah organisasi yang diberi nama Komite Indonesia Merdeka (KIM) pada Oktober 1946. Pada awal pembentukan KIM, organisasi itu diketuai oleh Dr. J.A. Gerungan, seorang dokter wanita yang mengepalai sebuah rumah sakit di Abepura. Corinus Krey dipilih sebagai Sekretaris I, yang dibantu oleh Sekretaris II Subroto, mantan kontrolir. Saat itu, Marthen Indey hanya sebagai anggota biasa, karena ia masih berstatus sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda. Namun, dalam perkembangan selanjutnya pengurus inti KIM beralih kepada putra putra Papua, yang diketuai oleh Marthen Indey, wakil ketua Corinus Krey dan Petrus Wattebossy sebagai sekretaris. Para pengurus KIM mengikuti perkembangan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam konferensi penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda. Pada November 1946 pengurus KIM mengadakan rapat di Hollandia dan secara bersama-sama mendengarkan pembacaan hasil Konferensi Linggarjati, 12 November 1946. Dalam pertemuan itu, mereka berhasil menyepakati untuk mengubah nama Komite Indonesia Merdeka (KIM) menjadi Partai Indonesia Merdeka (PIM). Hasil dari konferensi Linggarjati sangat mengecewakan para aktivis KIM dan tokoh-tokoh Papua lainnya yang pro Indonesia. Oleh karena itu, Marthen Indey mengadakan pertemuan dengan 12 tokoh masyarakat Papua dari berbagai suku di Hollandia untuk membicarakan keberadaan Papua.
     Pada 11 Desember 1946 Residen van Eechoud mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat Papua di Hollandia, di antaranya Corinus Krey dari Numfor, Milibella dari Sorong, Beratobui dari Yapen, Wetabosey dari Babo, Nicolaas Jouwe dan Lukas Jouwe dari Kayu Pulau, Mallo dari Skou, Barnabas Jufuway dari Depapre, Andreas Mano dari Tobati dan Marthen Indey dari Doromena. Dalam pertemuan itu, mereka membahas dua persoalan yaitu persoalan pertama tentang status masa depan Papua dan pemisahan Papua dari Indonesia. Persoalan kedua yang disampaikan Residen adalah kondisi tidak memungkinkan untuk mengirim seseorang sebagai wakil dari sekitar satu juta orang penduduk yang menghuni wilayah Papua saat itu. Dari kedua persoalan yang disampaikan residen itu membuktikan bahwa Belanda berkeinginan untuk memisahkan Papua dari Indonesia.
     Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang dibentuk oleh dokter Gerungan dan Pujosubroto di Hollandia pada 1945 yang beranggotakan Marthen Indey, Corinus Krey dan Nicolaas Jouwe menjadikan kedua persoalan itu sebagai bahan propagandanya kepada penduduk lokal Papua. Marthen Indey, Corinus Krey dan Nicolaas Jouwe memrotes usul residen mengenai tidak adanya wakil penduduk lokal Papua yang dikirim ke Denpasar. Adapun protes yang disampaikan kepada residen sebagai berikut:
  1. Nieuw Guinea tidak akan keluar dari Federasi Indonesia, tetapi tetap menjadi bagian dari Indonesia Serikat, karena pada kenyataannya kekuasaan otonom diberikan kepada Indonesia Serikat meliputi semua wilayah dari Sabang sampai Hollandia dan Merauke, yang dulu disebut Hindia Belanda. Penduduk Karesidenan Nieuw Guinea sebagai bangsa demokratis, yang menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) setuju dengan rencana perjanjian antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia.
  2. Pertemuan ini tidak menerima ketiadaan wakil dari penduduk lokal Papua yang dikirim ke Denpasar, karena penduduk lokal Papua sebagai kesatuan rakyat demokratis memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat dalam parlemen RIS.
  3. Pada pertemuan ini disepakati bahwa Papua tidak perlu menjadi koloni Belanda. Pemerintah tidak boleh mengabaikan hak penduduk lokal untuk menyampaikan pendapat, berpikir dan berserikat. Berdasarkan protes yang disampaikan anggota KIM tersebut diketahui bahwa mereka berkeinginan agar residen mengirim wakil penduduk lokal Papua untuk menghadiri konferensi di Denpasar.
     Pada 18 Desember 1946 diadakan suatu konferensi di Denpasar yang merupakan kelanjutan dari Konferensi Malino. Para peserta yang diundang dalam Konferensi Denpasar adalah wakil-wakil dari daerah Kalimantan dan Timur Besar. Namun wakil dari penduduk Papua tidak diundang untuk menghadiri konferensi tersebut. Ketidakhadiran wakil penduduk lokal Papua dalam konferensi Denpasar dimanfaatkan oleh KIM untuk menyampaikan propagandanya yang menyatakan kepada orang Papua untuk berjuang untuk kemerdekaan daerahnya, seperti Indonesia saudaranya yang berjuang untuk kemerdekaan.
     Pada awalnya propaganda KIM ini berhasil mempengaruhi pikiran Jouwe bersaudara (Nicolaas Jouwe dan Lukas Jouwe), Marthin Indey dan Corinus Krey. Mallo tetap netral. Namun Nicolaas dan Lukas Jouwe berubah pikiran dan menyetujui usul residen. Dengan demikian, yang terus berjuang untuk menyampaikan propaganda KIM kepada penduduk lokal Papua adalah Marthin Indey dan Corinus Krey. Marthen Indey dan Corinus Krey berkali-kali mengundang para korano di Onderafdeeling Hollandia untuk menghadiri pertemuan KIM. Di satu pihak, mereka terus berusaha mengirimkan edaran kepada korano yang berisi tentang protes yang dilancarkan wakil penduduk lokal Papua kepada residen atas usul residen pada pertemuan 11 Desember 1946 di Hollandia. Mereka juga mengirim telegram yang berisi tentang protes penduduk lokal Papua karena residen Papua tidak mengirimkan wakil penduduk lokal Papua ke Denpasar dan residen mengusulkan agar Papua dipisahkan dari Indonesia dan menjadi koloni Kerajaan Belanda. Telegram itu ditujukan kepada Letnan Gubernur, Komisaris Pemerintah Umum Borneo dan Timur Raya, Menteri Penerangan Republik Indonesia, RVD Makassar, Dewan Maluku Selatan Ambon, Dewan Maluku Utara Ternate, para wakil Pupella, Nadjamoedin Daeng Malewa dan peserta konferensi lainnya di Denpasar, penduduk lokal di Biak dan di onderafdeeling lainnya di Papua. Di lain pihak, HBA Ormu Daniel Jouwe memrotes keras orang-orang yang menyusun edaran itu dan menyatakan bahwa penduduk lokal Papua belum siap untuk merdeka, namun sebaiknya tidak bertahan terus sebagai koloni Belanda. J.W.M. Courtois menyesalkan edaran dari Daniel Jouwe itu hanya ditujukan kepada pimpinannya langsung atau kepada residen lewat perantaraan atasannya, sementara pihak Marthen Indey mengirim telegram kepada dunia luar dengan mengatasnamakan seluruh penduduk Papua. Penyesalan Courtois dapat dimaklumi karena keinginnannya untuk menunjukkan kepada warga dunia bahwa edaran Marthen Indey dan Corinus Krey bukanlah pendapat penduduk lokal NNG.
     Perbedaan pendapat terhadap usul residen merupakan bukti bahwa penduduk lokal Papua tidak seluruhnya pro Belanda atau pro Indonesia. Di kalangan penduduk lokal Papua terjadi pro-kontra tentang sikapnya apakah bergabung dengan RI atau berdiri sendiri sebagai suatu Negara merdeka. Dalam kondisi seperti itu, Van Mook mengajukan rancangan pembentukan Negara Indonesia Timur yang didasarkan pada hasil Konferensi Malino. Usul van Mook itu membuktikan bahwa Belanda tidak menghendaki pembentukan Negara Indonesia Timur yang meliputi daerah Papua. Usul van Mook itu ditentang oleh para peserta konferensi. Para delegasi Indonesia Timur berpendapat bahwa Papua termasuk daerah “Timur Besar”, karena sejak dahulu daerah itu telah menjalin hubungan dengan Kesultanan Tidore dan Ternate. Selain itu, penduduk pantai barat Nieuw Guinea, khususnya penduduk di Kepulauan Raja Ampat mempunyai kemiripan budaya dan ciri-ciri fisik dengan orang-orang di daerah Ternate dan Seram. Namun van Mook berdalih untuk tetap mempertahankan politiknya dengan mengatakan bahwa kedudukan Papua harus ditentukan sendiri oleh penduduknya.
     Sejak wilayah Papua dijadikan sebagai karesidenan tersendiri, kedudukan daerah itu dapat dipersoalkan oleh Belanda untuk lepas dari Karesidenan Maluku dan Papua menjadi satu kesatuan politik yang berdiri sendiri. Kondisi yang demikian, sengaja diciptakan Belanda agar dapat mempertahankan kepentingannya atas wilayah Papua. Belanda berhasil mempertahankan kepentingannya atas wilayah Papua dalam Konferensi Malino, Pangkalpinang dan Denpasar. Adapun kepentingan Belanda atas wilayah Papua adalah menjadikan daerah itu sebagai tempat penampungan keturunan Indo-Belanda yang tidak dapat kembali ke Holland dan tempat penampungan para pengusaha Belanda yang meninggalkan Indonesia serta untuk meneruskan tugas zending dan misi di pulau itu.
     Marthen Indey tidak pernah berhenti memperjuangkan wilayahnya menjadi bagian Republik Indonesia. Hal ini terbukti ketika ia bersama keluarganya bertolak ke Ambon untuk cuti pada 7 Januari 1947. Ia memanfaatkan cutinya untuk mencari dukungan kepada kelompok-kelompok pro Indonesia di Maluku dan daerah Indonesia timur lainnya. Di Ambon Marthen Indey melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh Maluku yang pro Indonesia. Pada 25 Februari 1947, ia bertemu dengan Presiden Negara Indonesia Timur (NIT) Tjokorde Gde Rake Sukawati yang berkunjung ke Ambon bersama dengan empat menterinya. Dalam pertemuan itu, Marthen Indey mendesak para pejabat NIT agar tetap mempertahankan Irian Barat dan menolak kemauan Belanda untuk memisahkan Irian Barat dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Marthen Indey melanjutkan aksi propagandanya ke Makassar sebagai ibukota NIT. Setelah kembali ke Ambon, Marthen Indey singgah di kampung isterinya, Kamarian, di Pulau Seram.
     Sementara itu, pada 7 Maret 1947 Belanda menjebloskan Corinus Krey ke dalam penjara di Jayapura karena Belanda mencium gerak-geriknya menyusun kekuatan kembali untuk suatu rencana pemberontakan. Tidak lama setelah penangkapan Corinus Krey, Residen van Eechoud mulai mencurigai gerak-gerik Marthen Indey, sehingga Marthen Indey juga ditangkap polisi Belanda di Kamarian pada 23 Maret 1947. Ia segera diterbangkan dari Ambon ke Biak dan Sentani untuk selanjutnya dijebloskan ke penjara. Setelah Marthen Indey dan Corinus Krey dipenjarakan, Belanda terus melakukan penangkapan besar-besaran di semua kampung di sekitar kota Jayapura, Danau Sentani, dan Teluk Tanah Merah. Pendukung PIM sebagian besar ditahan di tempat penahanan polisi Base-G, Jayapura. Sementara Marthen Indey dan Corinus Krey beserta angota-anggota inti PIM (Yohanes Fakdawer, Elly Uyo, Kaleb Hamadi, Andrias Irreuw, Laurens Mano, Petrus Wattebossy, Adrian Ondy, Hendrik Yoku, Hermanus Mebri, Barnabas Jufuway, dan Andreas Demena) ditahan di Ifar Gunung (Sentani). Polisi Belanda memerlukan waktu selama 7 bulan untuk memeriksa seluruh anggota KIM yang ditahan tersebut. Pada 21 Oktober 1947 mereka dipindahkan ke penjara Abepura. Pengadilan Negeri Hollandia secara resmi memutuskan hukuman atas mereka pada 7 Maret 1947. Berdasarkan putusan pengadilan itu, Marthen Indey dan Elly Uyo dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun, Corinus Krey selama 2 tahun 6 bulan, Johanes Fakdawer selama 2 tahun, selain mereka itu langsung dibebaskan karena vonis hukumannya sudah terpotong masa tahanan preventif.
     Setelah Marthen Indey menjalani masa hukumannya selama 3 tahun, pada 1 Mei 1950 ia ke luar dari penjara. Namun, Belanda tetap mencurigai segala gerak-geriknya, sehingga Marthen Indey kembali menghirup penatnya udara di penjara. Pada 16 Desember 1950, ia kembali ditahan di sel polisi selama 2 bulan sebagai tindakan pengamanan preventif. Awal tahun 1951 Marthen Indey bebas dari “tahanan preventif”. Kemudian ia bersama isrterinya memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang jauh dari keramaian dan pengawasan polisi Belanda. Mereka memilih untuk bermukim di Sabron-Dosay hingga akhir 1953. Pada 1954 mantan HPB Hollandia, de Haan menawarkan kepada Marthen Indey untuk memimpin proyek pembangunan jalan, jembatan dan gedung-gedung umum di Enarotali. Tawaran de Haan itu diterima oleh Marthen Indey, sehingga ia bersama keluarganya berangkat ke Enarotali dengan kapal melalui Sarmi dan Serui menuju Biak, dan dari sana terbang ke Enarotali. Setelah satu tahun ia mengerjakan proyek itu, pada 10 Oktober 1955 mereka terbang kembali ke Biak. Dari Biak mereka melanjutkan perjalanannya dengan kapal Hollandia melalui Serui. Selama perjalannan itu, dia menghubungi kawan-kawan seperjuangannya Lukas Rumkoren di Biak dan Barnabas Aninam di Serui. Marthen Indey membagikan sandi kepada mantan para pengurus Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) di Serui agar dapat saling berhubungan dan bekerja sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di Tanah Papua. Dengan cara tersebut, Marthen Indey tetap memelihara kontak dengan gerakan pro-Indonesia di bawah tanah hingga menjelang Trikora 1961.
     Pada masa Trikora, Marthen Indey berperan dalam membantu pendaratan anggota pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di Teluk Tanah Merah pada 15-16 Agustus 1962 dan penyelamatan sembilan orang dari 15 orang anggota pasukan RPKAD. Enam orang lainnya tertangkap oleh Belanda. Marthen Indey menyembunyikan anggota pasukan RPKAD itu ke rumahnya di Dosay dari pertengahan Agustus hingga September 1962. Selama Marthen Indey menyembunyikan anggota pasukan RPKAD itu, ia mengalami tekanan yang cukup berat. Pada 23 Agustus 1962, dua orang inspektur polisi Belanda dikawal oleh dua jip berisi agen-agen polisi datang mendatangi rumah Marthen Indey dan menyampaikan tujuannya untuk menangkap tentara Indonesia yang disembunyikan Marthen Indey. Namun, Marthen Indey yang sudah mendengar dari siaran radio bahwa Perjanjian New York sudah ditandatangani oleh wakil pemerintah Indonesia dan Belanda pada 15 Agustus 1962, dengan tegas menolak tuntutan perwira polisi Belanda itu. Marthen Indey mengatakan bahwa Belanda tidak berkuasa lagi di Tanah Papua, sebab pemerintahan sudah diambil-alih oleh PBB. Ketika Kepala Perwakilan Pemerintah RI, Soedjarwo Tjondronegoro, SH tiba di Jayapura, Marthen Indey melaporkan keberadaan regu itu. Beberapa hari kemudian beberapa anggota pasukan RPKAD itu diterbangkan pulang ke Jakarta, kecuali Tukiman tetap bersikeras bertahan di hutan Sabron-Dosay di bawah perlindungan Marthen Indey. Pada masa pemerintahan PBB di Irian Barat, tokoh-tokoh Papua yang pro-Indonesia, termasuk Marthen Indey mengkampanyekan agar pemerintahan PBB dipersingkat dan dipercepat penyerahan Irian Barat kepada pemerintah Republik Indonesia. Untuk menyampaikan aspirasi itu, pada Desember 1962 Marthen Indey bersama-sama rombongan E.Y. Bonay bertolak ke New York untuk memperjuangkannya di PBB. Perjuangan untuk mempersingkat masa pemerintahan PBB diperkuat lagi dengan dilaksanakannya demonstrasi oleh pemimpin rakyat Irian Barat di Jayapura pada 14 Januari 1963. Aksi tersebut ditandai dengan pendatanganan sebuah pernyataan yang diserahkan kepada pimpinan PBB di Jayapura Dr. Jalal Abdoh. Adapun isi pernyataan itu sebagai berikut:
Kami rakyat Irian Barat dengan ini menyatakan:
  • Menuntut pemendekan masa pemerintahan UNTEA.
  • Menggabungkan segera kepada Republik Indonesia secara mutlak tanpa syarat.
  • Setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945.
  • Menghendaki adanya negara kesatuan yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke.
  • Menghendaki otonomi yang seluas-luasnya dalam Republik Indonesia bagi Wilayah Irian Barat.
     Pada 1 Desember 1963 Marthen Indey dan sejumlah wakil-wakil Irian Barat ikut mencetuskan dan menandatangani Piagam Kota Baru (ketika itu Jayapura bernama Kota Baru). Pada prinsipnya para penandatangan Piagam Kota Baru tersebut mengakui bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 juga merupakan hasil kemerdekaan bagi rakyat dan wilayah Irian Barat (Papua). Kebulatan ikrar, janji dan sumpah yang tertuang dalam Piagam Kota Baru itu menyatakan bahwa putra-putri Irian Barat ikut berpartisipasi dalam membangun Irian Barat dalam lingkungan NKRI; ikut bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban serta kesentosaan wilayah Irian Barat; mengakui sumpah pemuda 28 Oktober 1928 sebagai sumpah rakyat Irian Barat; patuh dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945; menyambut dengan tangan dan hati terbuka saudara-saudara sebangsa dan setanah air dari wilayah Indonesia lainnya yang ingin berdiam dan membangun Irian Barat; menganggap wilayah Indonesia lainnya sebagai wilayah dan tumpah darah rakyat daerah Irian Barat. Ikrar tersebut mencerminkan bahwa rakyat Papua ketika itu merasa telah menjadi bagian dari bangsa dan Negara Indonesia.

Makna Perjuangan Pahlawan Nasional Marthen Indey bagi Generasi Muda
     Marthen Indey sebagai pejuang dan pahlawan nasional Indonesia telah berkorban demi tegaknya kemerdekaan Indonesia di tanah Papua. Bertahun-tahun lamanya Marthen Indey bersama rekan-rekan seperjuangannya (Silas Papare, Frans Kaisiepo, Corinus Krey, dan lain-lain) berjuang tanpa mengenal lelah untuk menetang pemerintah kolonial dan rela ke luar masuk penjara untuk membebaskan tanah Papua dari belenggu penjajahan Belanda. Marthen Indey berani dan rela mempertaruhkan harta, jiwa dan raga untuk merdeka dari kekuasaan asing. Itulah pengorbanan yang telah dia berikan kepada seluruh rakyat Papua dan bangsa Indonesia pada umumnya.
     Makna dan hakekat perjuangan Pahlawan Nasional Marthen Indey dalam mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan Indonesia di tanah Papua bagi generasi muda Papua dan Indonesia pada umumnya sebagai berikut:
Pertama, jiwa, semangat, dan nilai perjuangan Marthin Indey dapat menjadi teladan bagi generasi muda bangsa. Marthen Indey dapat disebut sebagai pejuang sejati. Hal itu tampak dari pendirian dan semangat juang yang melekat pada dirinya. Meskipun Marthen Indey telah lama bekerja sebagai polisi pemerintah kolonial Belanda, dia berani menentang pemerintah kolonial karena ketidaksudiannya berada di bawah penjajahan bangsa asing.
Kedua, Marthen Indey seorang pribadi yang mempunyai prinsip dan teguh dalam pendiriannya, tak sedikitpun dapat dipengaruhi untuk memihak kepada Belanda. Ia tetap berjuang dengan gigih untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia di tanah Papua, meskipun dia harus ke luar masuk penjara, ia tetap pada pendiriannya, yaitu menentang pemerintah kolonial.
Ketiga, Marthen Indey adalah seorang pribadi pekerja keras tanpa pamrih, tidak mudah menyerah, memiliki komitmen dan dedikasi tinggi, serta sabar dalam perjuangan. Perjuangannya yang tidak mengenal lelah selama 18 tahun lamanya, akhirnya tanah Papua terbebas dari belenggu kekuasaan Belanda dan rakyat Papua dapat menghirup udara kemerdekaan bersama bangsa Indonesia lainnya. Semoga kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa, termasuk Marthen Indey, dapat kita isi dengan berbagai kegiatan yang positif dan konstruktif demi terciptanya masyarakat Indonesia yang makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila.

KESIMPULAN
Penanaman nilai-nilai kepahlawanan dapat dilaksanakan oleh lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan berkewajiban untuk menyampaikan keteladanan para pahlawan nasional kepada para generasi muda. Salah satu pahlawan nasional dari Papua, yang layak diteladani kepahlawanannya adalah Marthen Indey. Marthen Indey merupakan tokoh pejuang yang mempunyai peran yang sangat besar untuk membebaskan tanah Papua dari pemerintah kolonial Belanda.
Adapun makna perjuangan Marthen Indey bagi generasi muda adalah semangat juangnya dan keberaniannya dalam menentang pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, Marthen Indey merupakan pribadi yang mempunyai pendirian teguh untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia di Papua. Dia juga merupakan pekerja keras yang memiliki sikap pantang menyerah serta sabar dalam perjuangannya untuk indonesia.

Riwayat Perjuangan
  • Tahun 1944 : Marthen Indey kembali ke Irian bersama pasukan Sekutu dan mendapat tugas melatih Anggota Batalyon Papua yang dibentuk Sekutu untuk menghadapi Jepang.
  • Tahun 1945-1947 : Menjadi aparat pemerintah Belanda sebagai Kepala Distrik Arso Yamay dan Waris, namun secara sembunyi-sembunyi Indey bergabung dengan kelompok Sugoro (bekas Digulis) yang bekerja sebagai Guru Sekolah Pamong Praja di Kota Nica (sekarang Kampung Harapan).
  • Tahun 1946 : Marthen Indey menjadi Anggota Komite Indonesia Merdeka (KIM) Pimpinan Dr. Gerungan di Hollandia Binmen (sekarang Abepura), dan kemudian menjadi ketuanya.
  • Tahun 1962 : Menyusun kekuatan gerilya sambil menanti kedatangan pasukan Indonesia yang akan di drop di Irian Jaya dalam rangka Trikora. Ia antara lain berhasil menyelamatkan beberapa orang anggota RPKAD yang didaratkan di Teluk Merah dan melindungi mereka dirumahnya sendiri.
  • Tahun 1962 : Marthen Indey bersama E.Y. Bonay berangkat ke New York untuk memperjuangkan di PBB agar periode UNTEA dipersingkat dan Irian Jaya secepatnya dimasukkan ke dalam Wilayah Republik Indonesia.
·         Tahun 1963-1968 : Marthen Indey duduk sebagai Anggota MPRS mewakili Irian Jaya, disamping jabatannya sebagai kontrolier diperbantukan pada Residen Jayapura.


APRESIASI PEMERINTAH KEPADA MARTHEN INDEY

   1.  Menjadi nama RUMAH SAKIT TK II MARTHEN INDEY
 Berada di kota Jayapura disahkan pada tanggal 21 september          1993 berdasarkan UU nomor 6 tahun 1993 .