PEJUANG DARI TANAH PAPUA
Perkenalkan lah kami Reyhan Zamzami ,
Afrilia , Fadillah Aisyah Tamara , M.
Surya Prayoga
Hallo ! kami dari SMAN 2 GUNUNGPUTRI kelas 12 MIPA 2 kelompok 3 mendapat
tugas untuk membuat artikel ini , dalam artikel ini kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan yang kami miliki dan kami sudah bekerja sama dalam
mensukseskan artikel ini, artikel ini bertemakan cinta sejarah maka dari itu
kelompok kami mendapatkan untuk menjalaskan dan membuat artikel mengenai
MARTHEN INDEY salah satu dari kami pun tidak mengetahui siapa beliau dan siapa
dia. Setelah kami cari dari berbagai sumber ternyata dia pahlawan yang telah
membantu irian jaya dapat bergabung kembali ke indonesia dan hal itu menarik
untuk kita bahas dalam artikel ini .
TTL
:
Doromena , 16 Maret 1912
Zodiac :
Pisces
Agama
: Kristen Protestan
Nama istri :
Agustina Heumassey
Pendidikan :
- Sekolah Rakyat 5 tahun
-
Sekolah Polisi di Sukabumi
-
Sekolah Marinir di Makasar & Surabaya
-
Latihan Militer Pard di Bris-bane Cans
Australia
Tanggal wafat
: 17 Juli 1986
Akhir-akhir
ini kita menyaksikan di televisi tawuran antarkampung, antarsekolah, bahkan
antarperguruan tinggi. Kita juga seringkali menyaksikan konflik antarpenganut
agama dan intrapenganut agama, serta antarsuku/antaretnis. Tawuran dan konflik
tersebut berakhir dengan hilangnya sejumlah nyawa manusia. Maraknya tawuran dan
konflik di bumi pertiwi Indonesia merupakan bukti pengingkaran terhadap
nilai-nilai kepahlawanan yang didasarkan atas rasa kebersamaan antar semua
etnis bangsa dan ketulusikhlasan untuk menerima perbedaan serta penghormatan
terhadap hak-hak antar sesama dalam kehidupan berbangsa yang majemuk.
Pengingkaran generasi muda terhadap nilai-nilai kepahlawanan tersebut merupakan
bukti kegagalan lembaga sosial dalam menanamkan nilai-nilai kepahlawanan. Nilai
kepahlawanan adalah suatu sikap dan perilaku perjuangan yang mempunyai mutu dan
jasa pengabdian serta pengorbanan terhadap bangsa dan Negara.
Dunia pendidikan dianggap gagal menunaikan
tugasnya dalam penanaman nilai-nilai moral kebangsaan. Sistem pendidikan yang
diterapkan pemerintah selama ini dinilai hanya dalam batasan memperoleh
pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas kognitif belaka.
Akibatnya, nilai-nilai moral kebangsaan mengalami degradasi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Berkurangnya pengetahuan dan pemahaman generasi muda akan
nilai-nilai kepahlawanan saat ini sungguh mengkhawatirkan. Para generasi muda
lebih mengidolakan tokoh imajiner yang sering tampil di layar televisi dan
sejenisnya. Para generasi muda di Indonesia umumnya dan khususnya di Papua
kurang mengenal tokoh-tokoh pahlawan dan pejuang nasional. Padahal bangsa ini
memiliki sejarah kepahlawanan yang gemilang, sebut saja pahlawan nasional asal
Papua, Marthen Indey.
Marthen Indey, namanya dikenal sebagai
seorang pahlawan nasional asal Papua. Kisah kepahlawanannya dalam
memperjuangkan kesatuan Negara Republik Indonesia dapat menjadi inspirasi dalam
menyambut Hari Pahlawan Nasional 10 November. Nilai-nilai perjuangan dan
kepahlawanan Marthen Indey dalam mengintegrasikan Papua ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), setidaknya ditanamkan dan dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari melalui pendidikan karakter di sekolah. Penulis
buku Marthen Indey Pahlawan Nasional Asal Papua, Handono Kusumo mengatakan yang
perlu dicontoh adalah semangat patriotisme dan nasionalismenya yang tinggi,
yang ditandai dengan semangat perjuangannya yang rela keluar masuk penjara dan
rela mengorbankan harta, jiwa dan raganya untuk membebaskan tanah Papua dari
belenggu penjajahan pemerintah kolonial Belanda. Para generasi muda harus memiliki semangat
nasionalisme dan patriotisme untuk menumbuhkembangkan kebanggaan berbangsa dan
bernegara Indonesia serta bela tanah air.
PERJUANGAN
MARTHEN INDEY
Perjumpaan Marthen Indey dengan para
tahanan politik di Boven Digul telah mempengaruhi sikap dan tindakannya dalam
perjuangannya mengintegrasikan Papua ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Penugasan Marthen Indey sebagai wakil komandan polisi jaga ke
Boven Digul telah berpengaruh besar dalam perjuangannya dalam membebaskan tanah
Papua dari belenggu penjajahan kolonial Belanda.
Pada awal tahun 1941, Belanda mengambil
keputusan untuk menarik semua tentaranya dari Boven Digul untuk persiapan
menghadapi tentara Jepang dan mengalihkan penjagaan para tahanan politik kepada
polisi lapangan (veldpolitie). Oleh karena itu, Pada Februari 1941
Marthen Indey ditugaskan sebagai wakil komandan polisi jaga ke Boven Digul.
Sebagai wakil komandan polisi jaga (tweede posthuiscommandant), Marthen
Indey mengepalai 31 orang polisi jaga. Dia bersama pasukannya berkewajiban
untuk melakukan penjagaan di Kamp Tahanan Politik Boven Digul. Sebagai wakil
komandan polisi jaga, Marthen Indey bebas keluar masuk kamp tahanan untuk
memeriksa keadaan dan perilaku para tahanan yang dicap “komunis”. Ketika
Marthen Indey menunaikan tugasnya sebagai wakil komandan polisi jaga, dia
sering duduk bercerita dengan para tahanan politik itu. Komunikasi yang intens
antara Marthen Indey dengan para tahanan politik tersebut, menyebabkan ia mulai
tertarik dengan cara berpikir dan pengalaman para pejuang yang
dibuang ke Boven Digul itu.
Pertemuan Marthen Indey dengan para
tahanan politik di Digul telah mengubah sikapnya terhadap pemerintah kolonial.
Ia mulai tidak setuju dengan perlakuan keras dari pemerintah kolonial terhadap
para tahanan politik itu. Perubahan sikapnya tidak terlepas dari pengaruh
pertemanannnya dengan beberapa orang dari tahanan politik itu. Beberapa orang tahanan
politik di Digul yang menarik simpati Marthen Indey saat itu adalah Sukoharjo,
mantan Angkatan Laut dari Bandung, Sugoro Atmoprasodjo, mantan guru Taman Siswa
Jogjakarta, dan Hamid Siregar, seorang yang berasal dari Tapanuli bergelar
Panggoncang Alam. Hamid Siregar terlibat dalam pergerakan kemerdekaan di
Hollandia (sekarang Jayapura) dan pernah dipenjarakan bersama Marthen Indey dan
pejuang-pejuang Papua lainnya. Marthen Indey menunjukkan rasa simpatinya
terhadap perjuangan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya.
Keberanian bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya mengakibatkan para
pejuang kemerdekaan Indonesia yang dipenjarakan oleh pemerintah kolonial.
Perlakuan pemerintah kolonial yang demikian tidak dapat diterima oleh Marthen
Indey.
Marthen Indey mengadakan rapat gelap dengan 31
orang agen polisi bawahannya untuk menangkap orang-orang Belanda. Adapun
orang-orang Belanda yang menjadi sasaran Marthen Indey adalah Inspektur Polisi
yang merupakan atasannya, Kontrolir Wegner, dan seorang pastor berkebangsaan
Belanda. Dalam pemikiran Marthen Indey, pasukan pendudukan Jepang yang telah
merebut kota Fak-Fak pada 1 April 1942, terus bergerak ke selatan, sehingga
dapat dimanfaatkan untuk menangkap orang-orang Belanda itu dan membebaskan para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Rencana
Marthen Indey untuk menangkap orang-orang Belanda dan membebaskan para pejuang
kemerdekaan Indonesia di Digul tidak dapat direalisasikan. Sebab, rencana
pemberontakannya dibocorkan oleh salah seorang polisi yang merupakan anak
buahnya sendiri. Akhirnya, agar tidak menimbulkan kejutan terhadap para
tahanan, pada suatu hari, ke 32 polisi Indonesia yang bertugas di Digul
ditugaskan membangun bivak-bivak baru dengan membuka hutan di daerah Pesnamman,
lebih ke hulu Sungai Digul. Daerah itu merupakan tempat Suku Jair dan Mandobo
membunuh musuh-musuhnya yang tertangkap. Marthen Indey mengira penugasannya itu
hanya sementara saja. Namun, ketika keluarganya (isteri dan anak angkatnya)
juga diberangkatkan ke daerah itu, Marthen Indey menyadari bahwa ia bersama
keluarganya telah dibuang secara halus. Setelah Marthen Indey bersama
teman-teman polisinya menjalani hukuman selama 8 bulan di Pesnamman, mereka
diijinkan kembali ke Tanah Merah.
Pada 1943
Pemerintah kolonial Belanda menutup kamp konsentrasi di Digul. Penutupan kamp
konsentrasi itu berhubungan dengan kehadiran tentara pendudukan Jepang di
wilayah Papua bagian barat pada Perang Pasifik. Belanda khawatir tentang
kemungkinan para tahanan politik di Digul dibebaskan oleh tentara Jepang. Oleh
sebab itu, Belanda memutuskan untuk menutup penjara tersebut dan mengungsikan
semua tahanan ke Australia. Namun, setelah wilayah Papua dibebaskan oleh
tentara Sekutu dari pendudukan tentara Jepang pada akhir Juli 1944, penjara itu
digunakan kembali oleh Belanda untuk memenjarakan siapa saja yang dianggap
menentang pemerintah kolonial Belanda.
Setelah wilayah Papua dibebaskan tentara
Sekutu, Netherlands Indies Civil Administrations (NICA) atau Pemerintahan Sipil
Hindia Belanda kembali ke Papua dengan membawa para pejuang eks Digulis. Pada
dasarnya para pejuang eks Digulis itu, termasuk Sugoro dibawa kembali ke Papua
hendak diperalat Belanda dalam menegakkan kembali kekuasaannya di Papua. NICA
menugaskan Sugoro sebagai Penasihat Direktur Pendidikan dan Agama dan memimpin
Sekolah Bestuur (Pamong Praja) di Kota NICA (sekarang Kampung Harapan,
Sentani). Di Sekolah Pamong Praja itulah Sugoro menjalankan tugas utamanya dan
di luar jam kerjanya ia menanamkan kesadaran politik sebagai bangsa Indonesia
dan patriotisme kepada peserta didiknya, sehingga Kota NICA menjadi tempat
persemaian nasionalisme Indonesia bagi putra-putra Papua. Meskipun, ketika itu
Marthen Indey bertugas sebagai kepala distrik di luar kota Hollandia (Arso,
Yamasy, dan Waris), ia tetap melakukan kontak dengan sahabat-sahabatnya di Kota
Nica, khususnya dengan Sugoro yang telah dikenalnya sejak penugasannya di
Digul. Corinus Krey yang bekerja di Kota Nica sebagai kepala poliklinik dan
pengajar di sekolah mantri, juga ditugaskan mengajar ilmu kesehatan di sekolah
Pamong Praja itu. Setiap malam, setelah pukul 24.00, Sugoro bersama Corinus
Krey memantau siaran RRI Jogjakarta dan pemancar Komite Indonesia Merdeka di
Australia. Komite orang-orang Indonesia di pengasingan itu juga menerbitkan
surat kabar Penyuluh. Sugoro mengedarkan surat kabar Penyuluh itu secara
diam-diam kepada peserta didik pamong praja, guru dan pendukung-pendukung
kemerdekaan Indonesia di Kota Nica dan sekitarnya. Meskipun para pejuang eks
Digulis lainnya seperti Hamid Siregar, Aron Pandjaitan, dan Jusuf Nasution
tidak mendapat tugas mengajar di sekolah bestuur, mereka terlibat dalam
organisasi bawah tanah yang dipelopori Sugoro Atmoprasodjo bersama
putera-putera Papua seperti: Marthen Indey, Silas Papare, Lukas Rumkorem, dan
Corinus Krey.
Pada akhir 1945, organisasi bawah tanah
asuhan Sugoro menyusun suatu rencana pemberontakan untuk mewujudkan kemerdekaan
Indonesia di Irian Barat (sekarang Papua). Pemberontakan itu direncanakan
dimulai pada 25 Desember 1945. Akan tetapi, rencana itu diketahui oleh Belanda
dari orang-orang Indonesia yang pro-Belanda, sehingga Belanda melakukan
penangkapan terhadap 250 orang, termasuk Sugoro pada tengah malam 15 Desember
1945. Meskipun Marthen Indey tidak ditangkap pada operasi tengah malam itu,
bukan berarti Marthen Indey tidak berperan dalam rencana pemberontakan itu.
Pada saat operasi itu, Marthen Indey sedang berada di tempat tugasnya sebagai
kepala distrik di Arso. Marthen Indey sebagai salah satu pelatih anggota
Batalyon Papua yang dibentuk akhir tahun 1944, tentunya mempunyai pengaruh di
kalangan anggota Batalyon tersebut. Hal ini memungkinkan dia untuk merekrut
para anggota Batalyon Papua untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah
kolonial.
Dalam rangka mewujudkan kemerdekaan di
tanah Papua, putra-putra Papua membentuk organisasi kemerdekaan di berbagai
daerah di Papua. Di Jayapura yang didirikan sebuah organisasi yang diberi nama
Komite Indonesia Merdeka (KIM) pada Oktober 1946. Pada awal pembentukan KIM,
organisasi itu diketuai oleh Dr. J.A. Gerungan, seorang dokter wanita yang
mengepalai sebuah rumah sakit di Abepura. Corinus Krey dipilih sebagai
Sekretaris I, yang dibantu oleh Sekretaris II Subroto, mantan kontrolir. Saat
itu, Marthen Indey hanya sebagai anggota biasa, karena ia masih berstatus
sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya pengurus inti KIM beralih kepada putra putra Papua, yang diketuai
oleh Marthen Indey, wakil ketua Corinus Krey dan Petrus Wattebossy sebagai
sekretaris. Para pengurus KIM mengikuti perkembangan perjuangan untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam konferensi penyelesaian sengketa
Indonesia-Belanda. Pada November 1946 pengurus KIM mengadakan rapat di
Hollandia dan secara bersama-sama mendengarkan pembacaan hasil Konferensi
Linggarjati, 12 November 1946. Dalam pertemuan itu, mereka berhasil menyepakati
untuk mengubah nama Komite Indonesia Merdeka (KIM) menjadi Partai Indonesia
Merdeka (PIM). Hasil dari konferensi Linggarjati sangat mengecewakan para
aktivis KIM dan tokoh-tokoh Papua lainnya yang pro Indonesia. Oleh karena itu,
Marthen Indey mengadakan pertemuan dengan 12 tokoh masyarakat Papua dari
berbagai suku di Hollandia untuk membicarakan keberadaan Papua.
Pada 11 Desember 1946 Residen van Eechoud
mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat Papua di Hollandia, di
antaranya Corinus Krey dari Numfor, Milibella dari Sorong, Beratobui dari
Yapen, Wetabosey dari Babo, Nicolaas Jouwe dan Lukas Jouwe dari Kayu Pulau,
Mallo dari Skou, Barnabas Jufuway dari Depapre, Andreas Mano dari Tobati dan
Marthen Indey dari Doromena. Dalam pertemuan itu, mereka membahas dua persoalan
yaitu persoalan pertama tentang status masa depan Papua dan pemisahan Papua
dari Indonesia. Persoalan kedua yang disampaikan Residen adalah kondisi tidak
memungkinkan untuk mengirim seseorang sebagai wakil dari sekitar satu juta
orang penduduk yang menghuni wilayah Papua saat itu. Dari kedua persoalan yang
disampaikan residen itu membuktikan bahwa Belanda berkeinginan untuk memisahkan
Papua dari Indonesia.
Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang
dibentuk oleh dokter Gerungan dan Pujosubroto di Hollandia pada 1945 yang
beranggotakan Marthen Indey, Corinus Krey dan Nicolaas Jouwe menjadikan kedua
persoalan itu sebagai bahan propagandanya kepada penduduk lokal Papua. Marthen
Indey, Corinus Krey dan Nicolaas Jouwe memrotes usul residen mengenai tidak
adanya wakil penduduk lokal Papua yang dikirim ke Denpasar. Adapun protes yang
disampaikan kepada residen sebagai berikut:
- Nieuw
Guinea tidak akan keluar dari Federasi Indonesia, tetapi tetap menjadi
bagian dari Indonesia Serikat, karena pada kenyataannya kekuasaan otonom
diberikan kepada Indonesia Serikat meliputi semua wilayah dari Sabang
sampai Hollandia dan Merauke, yang dulu disebut Hindia Belanda. Penduduk
Karesidenan Nieuw Guinea sebagai bangsa demokratis, yang menjadi bagian
dari Republik Indonesia Serikat (RIS) setuju dengan rencana perjanjian
antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia.
- Pertemuan
ini tidak menerima ketiadaan wakil dari penduduk lokal Papua yang dikirim
ke Denpasar, karena penduduk lokal Papua sebagai kesatuan rakyat
demokratis memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat dalam parlemen RIS.
- Pada
pertemuan ini disepakati bahwa Papua tidak perlu menjadi koloni Belanda.
Pemerintah tidak boleh mengabaikan hak penduduk lokal untuk menyampaikan
pendapat, berpikir dan berserikat. Berdasarkan protes yang disampaikan
anggota KIM tersebut diketahui bahwa mereka berkeinginan agar residen
mengirim wakil penduduk lokal Papua untuk menghadiri konferensi di
Denpasar.
Pada 18 Desember 1946 diadakan suatu
konferensi di Denpasar yang merupakan kelanjutan dari Konferensi Malino. Para
peserta yang diundang dalam Konferensi Denpasar adalah wakil-wakil dari daerah
Kalimantan dan Timur Besar. Namun wakil dari penduduk Papua tidak diundang
untuk menghadiri konferensi tersebut. Ketidakhadiran wakil penduduk lokal Papua
dalam konferensi Denpasar dimanfaatkan oleh KIM untuk menyampaikan
propagandanya yang menyatakan kepada orang Papua untuk berjuang untuk
kemerdekaan daerahnya, seperti Indonesia saudaranya yang berjuang untuk
kemerdekaan.
Pada awalnya propaganda KIM ini berhasil
mempengaruhi pikiran Jouwe bersaudara (Nicolaas Jouwe dan Lukas Jouwe), Marthin
Indey dan Corinus Krey. Mallo tetap netral. Namun Nicolaas dan Lukas Jouwe
berubah pikiran dan menyetujui usul residen. Dengan demikian, yang terus
berjuang untuk menyampaikan propaganda KIM kepada penduduk lokal Papua adalah
Marthin Indey dan Corinus Krey. Marthen Indey dan Corinus Krey berkali-kali
mengundang para korano di Onderafdeeling Hollandia untuk menghadiri
pertemuan KIM. Di satu pihak, mereka terus berusaha mengirimkan edaran kepada korano
yang berisi tentang protes yang dilancarkan wakil penduduk lokal Papua kepada
residen atas usul residen pada pertemuan 11 Desember 1946 di Hollandia. Mereka
juga mengirim telegram yang berisi tentang protes penduduk lokal Papua karena
residen Papua tidak mengirimkan wakil penduduk lokal Papua ke Denpasar dan
residen mengusulkan agar Papua dipisahkan dari Indonesia dan menjadi koloni
Kerajaan Belanda. Telegram itu ditujukan kepada Letnan Gubernur, Komisaris
Pemerintah Umum Borneo dan Timur Raya, Menteri Penerangan Republik Indonesia,
RVD Makassar, Dewan Maluku Selatan Ambon, Dewan Maluku Utara Ternate, para
wakil Pupella, Nadjamoedin Daeng Malewa dan peserta konferensi lainnya di
Denpasar, penduduk lokal di Biak dan di onderafdeeling lainnya di Papua. Di
lain pihak, HBA Ormu Daniel Jouwe memrotes keras orang-orang yang menyusun
edaran itu dan menyatakan bahwa penduduk lokal Papua belum siap untuk merdeka,
namun sebaiknya tidak bertahan terus sebagai koloni Belanda. J.W.M. Courtois
menyesalkan edaran dari Daniel Jouwe itu hanya ditujukan kepada pimpinannya
langsung atau kepada residen lewat perantaraan atasannya, sementara pihak Marthen
Indey mengirim telegram kepada dunia luar dengan mengatasnamakan seluruh
penduduk Papua. Penyesalan Courtois dapat dimaklumi karena keinginnannya untuk
menunjukkan kepada warga dunia bahwa edaran Marthen Indey dan Corinus Krey
bukanlah pendapat penduduk lokal NNG.
Perbedaan pendapat terhadap usul residen
merupakan bukti bahwa penduduk lokal Papua tidak seluruhnya pro Belanda atau
pro Indonesia. Di kalangan penduduk lokal Papua terjadi pro-kontra tentang
sikapnya apakah bergabung dengan RI atau berdiri sendiri sebagai suatu Negara
merdeka. Dalam kondisi seperti itu, Van Mook mengajukan rancangan pembentukan
Negara Indonesia Timur yang didasarkan pada hasil Konferensi Malino. Usul van
Mook itu membuktikan bahwa Belanda tidak menghendaki pembentukan Negara
Indonesia Timur yang meliputi daerah Papua. Usul van Mook itu ditentang oleh
para peserta konferensi. Para delegasi Indonesia Timur berpendapat bahwa Papua
termasuk daerah “Timur Besar”, karena sejak dahulu daerah itu telah menjalin
hubungan dengan Kesultanan Tidore dan Ternate. Selain itu, penduduk pantai
barat Nieuw Guinea, khususnya penduduk di Kepulauan Raja Ampat mempunyai
kemiripan budaya dan ciri-ciri fisik dengan orang-orang di daerah Ternate dan
Seram. Namun van Mook berdalih untuk tetap mempertahankan politiknya dengan
mengatakan bahwa kedudukan Papua harus ditentukan sendiri oleh penduduknya.
Sejak wilayah Papua dijadikan sebagai
karesidenan tersendiri, kedudukan daerah itu dapat dipersoalkan oleh Belanda
untuk lepas dari Karesidenan Maluku dan Papua menjadi satu kesatuan politik
yang berdiri sendiri. Kondisi yang demikian, sengaja diciptakan Belanda agar
dapat mempertahankan kepentingannya atas wilayah Papua. Belanda berhasil
mempertahankan kepentingannya atas wilayah Papua dalam Konferensi Malino,
Pangkalpinang dan Denpasar. Adapun kepentingan Belanda atas wilayah Papua
adalah menjadikan daerah itu sebagai tempat penampungan keturunan Indo-Belanda
yang tidak dapat kembali ke Holland dan tempat penampungan para pengusaha
Belanda yang meninggalkan Indonesia serta untuk meneruskan tugas zending dan misi
di pulau itu.
Marthen Indey tidak pernah berhenti
memperjuangkan wilayahnya menjadi bagian Republik Indonesia. Hal ini terbukti
ketika ia bersama keluarganya bertolak ke Ambon untuk cuti pada 7 Januari 1947.
Ia memanfaatkan cutinya untuk mencari dukungan kepada kelompok-kelompok pro
Indonesia di Maluku dan daerah Indonesia timur lainnya. Di Ambon Marthen Indey
melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh Maluku yang pro Indonesia. Pada 25 Februari
1947, ia bertemu dengan Presiden Negara Indonesia Timur (NIT) Tjokorde Gde Rake
Sukawati yang berkunjung ke Ambon bersama dengan empat menterinya. Dalam
pertemuan itu, Marthen Indey mendesak para pejabat NIT agar tetap
mempertahankan Irian Barat dan menolak kemauan Belanda untuk memisahkan Irian
Barat dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Marthen Indey melanjutkan aksi
propagandanya ke Makassar sebagai ibukota NIT. Setelah kembali ke Ambon,
Marthen Indey singgah di kampung isterinya, Kamarian, di Pulau Seram.
Sementara itu, pada 7 Maret 1947 Belanda
menjebloskan Corinus Krey ke dalam penjara di Jayapura karena Belanda mencium
gerak-geriknya menyusun kekuatan kembali untuk suatu rencana pemberontakan.
Tidak lama setelah penangkapan Corinus Krey, Residen van Eechoud mulai
mencurigai gerak-gerik Marthen Indey, sehingga Marthen Indey juga ditangkap
polisi Belanda di Kamarian pada 23 Maret 1947. Ia segera diterbangkan dari
Ambon ke Biak dan Sentani untuk selanjutnya dijebloskan ke penjara. Setelah
Marthen Indey dan Corinus Krey dipenjarakan, Belanda terus melakukan
penangkapan besar-besaran di semua kampung di sekitar kota Jayapura, Danau
Sentani, dan Teluk Tanah Merah. Pendukung PIM sebagian besar ditahan di tempat
penahanan polisi Base-G, Jayapura. Sementara Marthen Indey dan Corinus Krey
beserta angota-anggota inti PIM (Yohanes Fakdawer, Elly Uyo, Kaleb Hamadi,
Andrias Irreuw, Laurens Mano, Petrus Wattebossy, Adrian Ondy, Hendrik Yoku,
Hermanus Mebri, Barnabas Jufuway, dan Andreas Demena) ditahan di Ifar Gunung
(Sentani). Polisi Belanda memerlukan waktu selama 7 bulan untuk memeriksa
seluruh anggota KIM yang ditahan tersebut. Pada 21 Oktober 1947 mereka
dipindahkan ke penjara Abepura. Pengadilan Negeri Hollandia secara resmi
memutuskan hukuman atas mereka pada 7 Maret 1947. Berdasarkan putusan
pengadilan itu, Marthen Indey dan Elly Uyo dijatuhi hukuman penjara selama 3
tahun, Corinus Krey selama 2 tahun 6 bulan, Johanes Fakdawer selama 2 tahun,
selain mereka itu langsung dibebaskan karena vonis hukumannya sudah terpotong masa tahanan preventif.
Setelah Marthen Indey menjalani masa
hukumannya selama 3 tahun, pada 1 Mei 1950 ia ke luar dari penjara. Namun,
Belanda tetap mencurigai segala gerak-geriknya, sehingga Marthen Indey kembali
menghirup penatnya udara di penjara. Pada 16 Desember 1950, ia kembali ditahan
di sel polisi selama 2 bulan sebagai tindakan pengamanan preventif. Awal tahun
1951 Marthen Indey bebas dari “tahanan preventif”. Kemudian ia bersama
isrterinya memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang jauh dari keramaian dan
pengawasan polisi Belanda. Mereka memilih untuk bermukim di Sabron-Dosay hingga
akhir 1953. Pada 1954 mantan HPB Hollandia, de Haan menawarkan kepada Marthen
Indey untuk memimpin proyek pembangunan jalan, jembatan dan gedung-gedung umum
di Enarotali. Tawaran de Haan itu diterima oleh Marthen Indey, sehingga ia
bersama keluarganya berangkat ke Enarotali dengan kapal melalui Sarmi dan Serui
menuju Biak, dan dari sana terbang ke Enarotali. Setelah satu tahun ia
mengerjakan proyek itu, pada 10 Oktober 1955 mereka terbang kembali ke Biak.
Dari Biak mereka melanjutkan perjalanannya dengan kapal Hollandia melalui
Serui. Selama perjalannan itu, dia menghubungi kawan-kawan seperjuangannya
Lukas Rumkoren di Biak dan Barnabas Aninam di Serui. Marthen Indey membagikan
sandi kepada mantan para pengurus Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) di
Serui agar dapat saling berhubungan dan bekerja sama memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia di Tanah Papua. Dengan cara tersebut, Marthen Indey tetap memelihara
kontak dengan gerakan pro-Indonesia di bawah tanah hingga menjelang Trikora
1961.
Pada masa Trikora, Marthen Indey berperan
dalam membantu pendaratan anggota pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat
(RPKAD) di Teluk Tanah Merah pada 15-16 Agustus 1962 dan penyelamatan sembilan
orang dari 15 orang anggota pasukan RPKAD. Enam orang lainnya tertangkap oleh
Belanda. Marthen Indey menyembunyikan anggota pasukan RPKAD itu ke rumahnya di
Dosay dari pertengahan Agustus hingga September 1962. Selama Marthen Indey
menyembunyikan anggota pasukan RPKAD itu, ia mengalami tekanan yang cukup
berat. Pada 23 Agustus 1962, dua orang inspektur polisi Belanda dikawal oleh
dua jip berisi agen-agen polisi datang mendatangi rumah Marthen Indey dan
menyampaikan tujuannya untuk menangkap tentara Indonesia yang disembunyikan
Marthen Indey. Namun, Marthen Indey yang sudah mendengar dari siaran radio
bahwa Perjanjian New York sudah ditandatangani oleh wakil pemerintah Indonesia
dan Belanda pada 15 Agustus 1962, dengan tegas menolak tuntutan perwira polisi
Belanda itu. Marthen Indey mengatakan bahwa Belanda tidak berkuasa lagi di
Tanah Papua, sebab pemerintahan sudah diambil-alih oleh PBB. Ketika Kepala
Perwakilan Pemerintah RI, Soedjarwo Tjondronegoro, SH tiba di Jayapura, Marthen
Indey melaporkan keberadaan regu itu. Beberapa hari kemudian beberapa anggota
pasukan RPKAD itu diterbangkan pulang ke Jakarta, kecuali Tukiman tetap
bersikeras bertahan di hutan Sabron-Dosay di bawah perlindungan Marthen Indey.
Pada masa pemerintahan PBB di Irian Barat, tokoh-tokoh Papua yang
pro-Indonesia, termasuk Marthen Indey mengkampanyekan agar pemerintahan PBB
dipersingkat dan dipercepat penyerahan Irian Barat kepada pemerintah Republik
Indonesia. Untuk menyampaikan aspirasi itu, pada Desember 1962 Marthen Indey
bersama-sama rombongan E.Y. Bonay bertolak ke New York untuk memperjuangkannya
di PBB. Perjuangan untuk mempersingkat masa pemerintahan PBB diperkuat lagi
dengan dilaksanakannya demonstrasi oleh pemimpin rakyat Irian Barat di Jayapura
pada 14 Januari 1963. Aksi tersebut ditandai dengan pendatanganan sebuah
pernyataan yang diserahkan kepada pimpinan PBB di Jayapura Dr. Jalal Abdoh.
Adapun isi pernyataan itu sebagai berikut:
Kami rakyat
Irian Barat dengan ini menyatakan:
- Menuntut
pemendekan masa pemerintahan UNTEA.
- Menggabungkan
segera kepada Republik Indonesia secara mutlak tanpa syarat.
- Setia
kepada Proklamasi 17 Agustus 1945.
- Menghendaki
adanya negara kesatuan yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke.
- Menghendaki
otonomi yang seluas-luasnya dalam Republik Indonesia bagi Wilayah Irian
Barat.
Pada 1 Desember 1963 Marthen Indey dan
sejumlah wakil-wakil Irian Barat ikut mencetuskan dan menandatangani Piagam
Kota Baru (ketika itu Jayapura bernama Kota Baru). Pada prinsipnya para
penandatangan Piagam Kota Baru tersebut mengakui bahwa pada tanggal 17 Agustus
1945 juga merupakan hasil kemerdekaan bagi rakyat dan wilayah Irian Barat
(Papua). Kebulatan ikrar, janji dan sumpah yang tertuang dalam Piagam Kota Baru
itu menyatakan bahwa putra-putri Irian Barat ikut berpartisipasi dalam
membangun Irian Barat dalam lingkungan NKRI; ikut bertanggung jawab atas
keamanan dan ketertiban serta kesentosaan wilayah Irian Barat; mengakui sumpah
pemuda 28 Oktober 1928 sebagai sumpah rakyat Irian Barat; patuh dan setia
kepada Pancasila dan UUD 1945; menyambut dengan tangan dan hati terbuka
saudara-saudara sebangsa dan setanah air dari wilayah Indonesia lainnya yang
ingin berdiam dan membangun Irian Barat; menganggap wilayah Indonesia lainnya
sebagai wilayah dan tumpah darah rakyat daerah Irian Barat. Ikrar tersebut
mencerminkan bahwa rakyat Papua ketika itu merasa telah menjadi bagian dari bangsa dan Negara Indonesia.
Makna
Perjuangan Pahlawan Nasional Marthen Indey bagi Generasi Muda
Marthen Indey sebagai pejuang dan pahlawan
nasional Indonesia telah berkorban demi tegaknya kemerdekaan Indonesia di tanah
Papua. Bertahun-tahun lamanya Marthen Indey bersama rekan-rekan seperjuangannya
(Silas Papare, Frans Kaisiepo, Corinus Krey, dan lain-lain) berjuang tanpa
mengenal lelah untuk menetang pemerintah kolonial dan rela ke luar masuk
penjara untuk membebaskan tanah Papua dari belenggu penjajahan Belanda. Marthen
Indey berani dan rela mempertaruhkan harta, jiwa dan raga untuk merdeka dari kekuasaan
asing. Itulah pengorbanan yang telah dia berikan kepada seluruh rakyat Papua
dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Makna dan hakekat perjuangan Pahlawan
Nasional Marthen Indey dalam mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan
Indonesia di tanah Papua bagi generasi muda Papua dan Indonesia pada umumnya
sebagai berikut:
Pertama, jiwa, semangat, dan nilai
perjuangan Marthin Indey dapat menjadi teladan bagi generasi muda bangsa.
Marthen Indey dapat disebut sebagai pejuang sejati. Hal itu tampak dari pendirian
dan semangat juang yang melekat pada dirinya. Meskipun Marthen Indey telah lama
bekerja sebagai polisi pemerintah kolonial Belanda, dia berani menentang
pemerintah kolonial karena ketidaksudiannya berada di bawah penjajahan bangsa
asing.
Kedua, Marthen Indey seorang pribadi yang
mempunyai prinsip dan teguh dalam pendiriannya, tak sedikitpun dapat
dipengaruhi untuk memihak kepada Belanda. Ia tetap berjuang dengan gigih untuk
menegakkan kemerdekaan Indonesia di tanah Papua, meskipun dia harus ke luar masuk
penjara, ia tetap pada pendiriannya, yaitu menentang pemerintah kolonial.
Ketiga, Marthen Indey adalah seorang
pribadi pekerja keras tanpa pamrih, tidak mudah menyerah, memiliki komitmen dan
dedikasi tinggi, serta sabar dalam perjuangan. Perjuangannya yang tidak
mengenal lelah selama 18 tahun lamanya, akhirnya tanah Papua terbebas dari
belenggu kekuasaan Belanda dan rakyat Papua dapat menghirup udara kemerdekaan
bersama bangsa Indonesia lainnya. Semoga kemerdekaan yang telah diperjuangkan
oleh para pahlawan bangsa, termasuk Marthen Indey, dapat kita isi dengan
berbagai kegiatan yang positif dan konstruktif demi terciptanya masyarakat
Indonesia yang makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila.
KESIMPULAN
Penanaman
nilai-nilai kepahlawanan dapat dilaksanakan oleh lembaga pendidikan. Lembaga
pendidikan berkewajiban untuk menyampaikan keteladanan para pahlawan nasional
kepada para generasi muda. Salah satu pahlawan nasional dari Papua, yang layak
diteladani kepahlawanannya adalah Marthen Indey. Marthen Indey merupakan tokoh
pejuang yang mempunyai peran yang sangat besar untuk membebaskan tanah Papua
dari pemerintah kolonial Belanda.
Adapun makna perjuangan Marthen Indey bagi generasi
muda adalah semangat juangnya dan keberaniannya dalam menentang pemerintah
kolonial Belanda. Selain itu, Marthen Indey merupakan pribadi yang mempunyai
pendirian teguh untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia di Papua. Dia juga
merupakan pekerja keras yang memiliki sikap pantang menyerah serta sabar dalam
perjuangannya untuk indonesia.
Riwayat Perjuangan
- Tahun
1944 : Marthen Indey kembali ke Irian bersama pasukan Sekutu dan mendapat
tugas melatih Anggota Batalyon Papua yang dibentuk Sekutu untuk menghadapi
Jepang.
- Tahun
1945-1947 : Menjadi aparat pemerintah Belanda sebagai Kepala Distrik Arso
Yamay dan Waris, namun secara sembunyi-sembunyi Indey bergabung dengan
kelompok Sugoro (bekas Digulis) yang bekerja sebagai Guru Sekolah Pamong
Praja di Kota Nica (sekarang Kampung Harapan).
- Tahun
1946 : Marthen Indey menjadi Anggota Komite Indonesia Merdeka (KIM)
Pimpinan Dr. Gerungan di Hollandia Binmen (sekarang Abepura), dan kemudian
menjadi ketuanya.
- Tahun
1962 : Menyusun kekuatan gerilya sambil menanti kedatangan pasukan
Indonesia yang akan di drop di Irian Jaya dalam rangka Trikora. Ia antara
lain berhasil menyelamatkan beberapa orang anggota RPKAD yang didaratkan
di Teluk Merah dan melindungi mereka dirumahnya sendiri.
- Tahun
1962 : Marthen Indey bersama E.Y. Bonay berangkat ke New York untuk
memperjuangkan di PBB agar periode UNTEA dipersingkat dan Irian Jaya
secepatnya dimasukkan ke dalam Wilayah Republik Indonesia.
·
Tahun 1963-1968 : Marthen Indey
duduk sebagai Anggota MPRS mewakili Irian Jaya, disamping jabatannya sebagai
kontrolier diperbantukan pada Residen Jayapura.
APRESIASI PEMERINTAH
KEPADA MARTHEN INDEY
1. Menjadi
nama RUMAH SAKIT TK II MARTHEN INDEY
Berada di kota Jayapura disahkan pada
tanggal 21 september 1993 berdasarkan UU nomor 6 tahun 1993 .
No comments:
Post a Comment