Thursday, January 24, 2019

PERJUANGAN KH. HASYIM ASY’ARI DALAM PERGERAKAN ORGANISASI INDONESIA


PERJUANGAN KH. HASYIM ASY’ARI
 DALAM PERGERAKAN ORGANISASI INDONESIA


Oleh : Tomi Nugraha
  
        Dalam sejarah Indonesia, sejak masa pra-Kemerdekaan hingga saat ini, posisi dan peranan ulama cukup penting terhadap proses perubahan sosial kemasyarakatan, karena ulama merupakan tokoh panutan bagi umat Islam yang merupakan agama terbesar di Indonesia.
Jika ditelusuri lebih jauh tentang peranan ulama dalam mewarnai proses perubahan sosial di Indonesia, maka akan tercatat beberapa tokoh penting dari pelbagai golongan dan kelompok masyarakat, diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari.
KH. Hasyim Asy’ari merupakan seorang ulama yang terkemuka dizamannya, karena dia adalah pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan ikut serta mendorong untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan, disisilain dia adalah tokoh penting dalam berdirinya Nahdlatul Ulama yang kelak dalam sejarah Indonesia akan menjadi ormas Islam terbesar dan memainkan peranan yang cukup signifikan dalam berbagai perubahan sosial dan politik di Indonesia.
KH. Hasyim Asy’ari atau kerap disapa dengan panggilan Muhammad Hasyim, lahir di desa Gedang Jombang pada 24 Zulkaidah 1287 H/14 Februari 1871, dan wafat di Jombang pada Juli 1947.3 Secara genealogi, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kyai, karena kakek buyutnya adalah Kyai Sihah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, sedangkan kakeknya Kyai Usman adalah kyai terkenal pendiri pondok pesantren Gedang, sedangkan ayahnya Asy’ari adalah pengasuh pondok pesantren Keras di Jombang.
Setelah 7 tahun belajar di Mekah, KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Jawa dan mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang pada 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M. Di pondok pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang oleh kalangan NU dikenal dengan “kitab kuning”. Dari pesantren ini pula kemudian banyak bermunculan kyai dan ulama terkemuka yang mewarnai pemikiran Islam di Indonesia.
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 silam sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam yang secara relatif berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian (purifikasi) ajaran Islam.
Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad Dahan yang kemudian gerakannya dianggap cenderung berbeda dengan kebiasaan praktik-praktik keagamaan (Islam) masyarakat lokal merupakan bagian dari efek picu (trigger effect) yang mempercepat lahirnya NU. Ditambah lagi pada saat itu gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah di bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dianggap sudah kebablasan karena sudah sampai pada keinginan membongkar makam Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan Sunni akhirnya membentuk komite (yang disebut Komite Hijaz) yang selanjutnya diutus khusus untuk menemui Raja Fahd di Arab Saudi.

Di balik sikap reaktif itu, sebenarnya para ulama Sunni Indonesia memiliki misi mempertahankan budaya pluralisme kebangsaan yang membumi. Pertama, pada tingkat lokal, para ulama NU tidak ingin membenturkan ajaran Islam dengan kebiasaan beragama masyarakat  setempat. Tepatnya, para ulama NU berupaya selalu mengharmoniskan hubungan antara pengamalan agama dan praktik budaya lokal.
Secara universal, para ulama NU berupaya memperkenalkan dan menghendaki penghargaan terhadap nilai-nilai perbedaan yang eksis di dalam masyarakat dunia, dengan menunjukkan toleransi dan pembelaannya terhadap upaya atau keinginan untuk menghilangkan kebiasaan. Terlebih hal itu, oleh pihak NU, secara prinsip ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kalaupun dianggap bertentangan, maka merupakan konsekuensi dari keberagamaan yang memang sudah ada, yakni masing-masing tentu saja memiliki pembenaran atau argumen teologis.
Dalam kerangka seperti itulah NU berdiri dan eksis sebagai pengayom kepentingan semua kekuatan dengan gerakan yang berorientasi kerakyatan. Infrastrukturnya sejak awal dibangun di atas tiga pilar utama, semangat kebangsaan (nahdlatul wathan), semangat atau kebangkitan ekonomi (nahdlatul tujjar), dan gerakan pengembangan pemikiran (taswirul afkar)—Islam berbasis kultural di Indonesia.
Dalam perjalanannya, karena watak reaktif itu pula NU kerap kali terjebak pada situasi temporer, terutama terkait dengan agenda politik praktis. Para tokohnya tampaknya tak ingin ketinggalan berpartisipasi dalam kancah politik praktis, dengan alasan-alasan yang pada dasarnya bersifat pragmatis. Apalagi, di kalangan tokoh NU itu muncul kesadaran tentang adanya basis massa politik yang riil yang secara kuantitatif memiliki posisi tawar kuat.
Barangkali juga ada anggapan, “daripada basis massa dimanfaatkan oleh pihak lain, lebih baik untuk kepentingan politik dan ekonomi kalangan internal NU sendiri”. Makanya, tidak heran kalau perjalanan NU tidak bisa dilepaskan dengan kiprah politiknya yang sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan segelintir elite NU sendiri.
 Sebagai salah satu organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia, NU bertujuan memberlakukan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunah Waljama’ah dan mengikuti salah satu mazhab yang empat di tengah-tengah kehidupan di dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU dan ulama terkemuka berpengaruh kuat pada sikap beragama umat Islam Indonesia. Bahkan sampai saat ini pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang diformulasikan dalam organisasi NU menjadi acuan dalam beragama.

Daftar Pustaka

Arifin, Imron, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebu
Ireng, (Malang: Kalimasada Press, 1983).
Anam, Choirul, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama,
(Solo: Jatayu, 1985).
Abdullah, Taufik, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali
Press, 1983).
Ecip, Sinansari, (ed.), NU, Khittah dan Godaan Politik, (Bandung:
Mizan, 1994).
Van Bruinessen, Martin, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian
Wacana Baru, (Yogyakarta, LkiS, 1999).

No comments:

Post a Comment