PERJUANGAN KH.
HASYIM ASY’ARI
DALAM PERGERAKAN ORGANISASI INDONESIA
Oleh : Tomi Nugraha
Dalam sejarah Indonesia, sejak masa
pra-Kemerdekaan hingga saat ini, posisi dan peranan ulama cukup penting
terhadap proses perubahan sosial kemasyarakatan, karena ulama merupakan tokoh panutan
bagi umat Islam yang merupakan agama terbesar di Indonesia.
Jika ditelusuri
lebih jauh tentang peranan ulama dalam mewarnai proses perubahan sosial di
Indonesia, maka akan tercatat beberapa tokoh penting dari pelbagai golongan dan
kelompok masyarakat, diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari.
KH. Hasyim Asy’ari
merupakan seorang ulama yang terkemuka dizamannya, karena dia adalah pendiri
pondok pesantren Tebu Ireng dan ikut serta mendorong untuk melakukan perlawanan
terhadap penjajahan, disisilain dia adalah tokoh penting dalam berdirinya Nahdlatul
Ulama yang kelak dalam sejarah Indonesia akan menjadi ormas Islam terbesar dan
memainkan peranan yang cukup signifikan dalam berbagai perubahan sosial dan
politik di Indonesia.
KH. Hasyim Asy’ari atau
kerap disapa dengan panggilan Muhammad Hasyim, lahir di desa Gedang Jombang
pada 24 Zulkaidah 1287 H/14 Februari 1871, dan wafat di Jombang pada Juli
1947.3 Secara genealogi, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kyai, karena
kakek buyutnya adalah Kyai Sihah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tambak
Beras, sedangkan kakeknya Kyai Usman adalah kyai terkenal pendiri pondok
pesantren Gedang, sedangkan ayahnya Asy’ari adalah pengasuh pondok pesantren
Keras di Jombang.
Setelah 7 tahun
belajar di Mekah, KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Jawa dan mendirikan pondok Pesantren
Tebu Ireng di Jombang pada 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M. Di pondok pesantren
inilah KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang oleh
kalangan NU dikenal dengan “kitab kuning”. Dari pesantren ini pula kemudian
banyak bermunculan kyai dan ulama terkemuka yang mewarnai pemikiran Islam di
Indonesia.
Kelahiran Nahdlatul
Ulama (NU) pada 1926 silam sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan perkembangan
kelompok Islam yang secara relatif berhaluan pembaruan ke arah “yang disebut”
pemurnian (purifikasi) ajaran Islam.
Organisasi
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada 1912 oleh KH Ahmad Dahan yang
kemudian gerakannya dianggap cenderung berbeda dengan kebiasaan praktik-praktik
keagamaan (Islam) masyarakat lokal merupakan bagian dari efek picu (trigger effect)
yang mempercepat lahirnya NU. Ditambah lagi pada saat itu gerakan pembaruan
Islam di Timur Tengah di bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi)
dianggap sudah kebablasan karena sudah sampai pada keinginan membongkar makam
Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan Sunni akhirnya membentuk
komite (yang disebut Komite Hijaz) yang selanjutnya diutus khusus untuk menemui
Raja Fahd di Arab Saudi.
Di balik sikap
reaktif itu, sebenarnya para ulama Sunni Indonesia memiliki misi mempertahankan
budaya pluralisme kebangsaan yang membumi. Pertama, pada tingkat lokal, para
ulama NU tidak ingin membenturkan ajaran Islam dengan kebiasaan beragama
masyarakat setempat. Tepatnya, para
ulama NU berupaya selalu mengharmoniskan hubungan antara pengamalan agama dan
praktik budaya lokal.
Secara universal,
para ulama NU berupaya memperkenalkan dan menghendaki penghargaan terhadap
nilai-nilai perbedaan yang eksis di dalam masyarakat dunia, dengan menunjukkan
toleransi dan pembelaannya terhadap upaya atau keinginan untuk menghilangkan kebiasaan.
Terlebih hal itu, oleh pihak NU, secara prinsip ditafsirkan sebagai tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Kalaupun dianggap bertentangan, maka merupakan
konsekuensi dari keberagamaan yang memang sudah ada, yakni masing-masing tentu
saja memiliki pembenaran atau argumen teologis.
Dalam kerangka
seperti itulah NU berdiri dan eksis sebagai pengayom kepentingan semua kekuatan
dengan gerakan yang berorientasi kerakyatan. Infrastrukturnya sejak awal
dibangun di atas tiga pilar utama, semangat kebangsaan (nahdlatul wathan),
semangat atau kebangkitan ekonomi (nahdlatul tujjar), dan gerakan pengembangan
pemikiran (taswirul afkar)—Islam berbasis kultural di Indonesia.
Dalam
perjalanannya, karena watak reaktif itu pula NU kerap kali terjebak pada
situasi temporer, terutama terkait dengan agenda politik praktis. Para tokohnya
tampaknya tak ingin ketinggalan berpartisipasi dalam kancah politik praktis,
dengan alasan-alasan yang pada dasarnya bersifat pragmatis. Apalagi, di kalangan
tokoh NU itu muncul kesadaran tentang adanya basis massa politik yang riil yang
secara kuantitatif memiliki posisi tawar kuat.
Barangkali juga ada
anggapan, “daripada basis massa dimanfaatkan oleh pihak lain, lebih baik untuk
kepentingan politik dan ekonomi kalangan internal NU sendiri”. Makanya, tidak
heran kalau perjalanan NU tidak bisa dilepaskan dengan kiprah politiknya yang
sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan segelintir elite NU sendiri.
Sebagai salah satu organisasi keagamaan yang
terbesar di Indonesia, NU bertujuan memberlakukan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunah
Waljama’ah dan mengikuti salah satu mazhab yang empat di tengah-tengah kehidupan
di dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari
sebagai pendiri NU dan ulama terkemuka berpengaruh kuat pada sikap beragama umat
Islam Indonesia. Bahkan sampai saat ini pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang
diformulasikan dalam organisasi NU menjadi acuan dalam beragama.
Daftar Pustaka
Arifin,
Imron, Kepemimpinan Kyai: Kasus Pondok Pesantren Tebu
Ireng, (Malang: Kalimasada Press, 1983).
Anam,
Choirul, Pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul Ulama,
(Solo: Jatayu,
1985).
Abdullah,
Taufik, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali
Press, 1983).
Ecip,
Sinansari, (ed.), NU, Khittah dan Godaan Politik, (Bandung:
Mizan, 1994).
Van
Bruinessen, Martin, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian
Wacana Baru, (Yogyakarta, LkiS, 1999).
No comments:
Post a Comment